Cerpen Seri Mukidi : "Mukidi Dan Gagak Rimang"

Tags




"Ini adalah kisah (cerpen) tentang Mukidi yang menerobos dimensi waktu dan tempat, bertemu Kuda Gagak Rimang yang bertutur tentang sejarah pra Mataram Islam"
Mukidi dilanda kegalauan yang amat sangat. Sedang sahabat dekatnya, Si Paijan tidak nampak batang hidungnya berhari-hari. Entah kemana. Jangan-jangan digondol kalong wewe. Apa yang terjadi dengan negriku ini, keluh Mukidi.

Ah, si Mukidi, memang super kemlinti. Dia bukan siapa-siapa di republik ini. Bahkan bukan apa-apa. Tapi, tumben hari-hari ini pikirannya disibukkan dengan persoalan negara. Dia merasa udara semakin panas walau dalam kenyataannya sejuk-sejuk saja.

Mukidi memutuskan untuk menyepi. Melakukan lelaku dalam hutan kesunyian. Dia merenda rasa batinnya yang terdalam untuk berkotemplasi. Kali-kali saja mendapatkan semacam wisik pecerahan. Entah sudah berapa jam atau hari Mukidi duduk bersemedi di alam sunyi. Lamat-lamat dia merasa bertemu dengan seekor kuda hitam yang gagah. Tanpa penunggang. Namun disebelah pelanannya terselip sebuah keris. Mukidi mendekat, mengagumi kegagahan kuda itu.

"Salam rahayu, Kyai Mukidi", ujar kuda itu. Bukan main terkejutnya Mukidi, seumur - umur baru ini dia berjumpa seekor kuda yang bisa berbicara.

"Kamu jin ya, kok bisa bicara", tanya Mukidi.

"Bukan, aku kuda. Ya, aku hanyalah seekor kuda. Namaku Gagak Rimang. Aku kuda yang menjadi saksi sejarah atas pertumpahan darah antara Joko Tingkir lawan Bendoroku, Raden Haryo Penangsang. Kalau gak percaya, Jengandiko silahkan lihat keris yang kubawa ini. Ini adalah keris Kyai Brongot Setan Kober, peninggalan bendoroku", ujar si kuda yang ternyata bernama Gagak Rimang.

"Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Apa yang terjadi antara junjunganmu itu dengan Raden Mas Karebet ?", tanya Mukidi.

"Panjang ceritanya. Namun perlu kau ketahui wahai Kyai Mukidi." sambung si Kuda Gagak Rimang, namun dipotong mukidi. "Mbok jangan panggil aku kyai to. Panggil Mukidi saja. Wong aku ini huruf alif bengkong saja nggak tahu kok dipanggil kyai. Isin aku lho".

"Aku sebut Jengandiko Kyai bukan karena pengetahuan agama njenengan, tapi karena aku merasa kau orang 'tua'. Tua dalam arti wawasanmu. Dan aku menghormatimu. Kau tahu kan, bahkan di Solo itu, kerbau putih pun ada yang bergelar Kyai Slamet."

"Yowislah sak karepmu". Sudah teruskan penuturanmu soal junjunganmu itu" pinta Mukidi.

"Ketahuilah bahwa Haryo Penangsang tidak seratus persen salah dalam peperangan itu. Beliau meminta haknya sebagai pewaris sah kesultanan Demak Bintoro. Hanya saja Ki Joko Tingkir juga tidak salah. Karena dia juga  merasa bahwa dialah yang dipilih Gusti Kang Akaryo Jagad untuk memerintah Tanah Jawa ini."

"Benar Mukidi. Benar apa yang disampaikan oleh Gagak Rimang itu", tiba-tiba ada sesosok manusia datang langsung nimbrung percakapan mereka. Sosok itu berpakaian Jawa serba hitam. Beskap, jarik dan udeng jawa hitam. Berwibawa sekali beliau.

Mukidi kamitenggengen, tergagu terkena perbawa sosok itu. Sampai-sampai lupa atur salam bahkan lupa menanyakan siapa dia.

"Haryo Penangsang merasa punya hak. Karena menurut hukum yang ada, anak akan mewarisi kerajaan ayahnya. Namun aku berpendapat lain. Dengan tanda pulung keprabon yang jatuh pada Joko Tingkir, maka aku mendukung dia sebagai raja Jawa berikutnya setelah Sultan Trenggono wafat."

"Nuwun sewu, Kanjeng Su....."Mukidi tak berani melanjutkan panggilan itu. Takut salah dan takut kualat. "Kan Demak kesultanan Islam. Jadi seperti kekhalifahan yang ada, sudah pantas jika anak atau cucu mewarisi keprabon orang tuanya," lanjut Mukidi terbata-bata.

"Oh, nggak Ngger. Wong contoh masa kekhalifahan yang empat itu juga nggak ada yang mewaris ke anak kok. Itu hanya tradisi selanjutnya setelah khalifah yang empat itu. Sejak dinasti Muawiya-lah baru memasuki tradisi anak sebagai putra mahkota."

"Jadi, menurut Mbah ini, bukan harus anak atau cucu jadi putra mahkota. Ya siapa yang dapat wahyu keprabon itu yang naik tahta. Lha wahyu keprabon itu pilhannya Gusti Yang Maha Kuasa.

"Lha anu Kanjeng....kalau jaman republik ini, wahyu keprabon itu bagaimana tandanya ?" tanya mukidi.

"Ya gampang. Yang terpilih coblosan ya itu berarti yang ketiban pulung wahyu keprabon".

Mukidi nglilir. Ternyata dia ada di kamar tanpa ada siapa-siapa. "Di, oh Mukidi. Nandi koen ? " terdengar suara memanggil. ternyata Paijan yang datang membawa kaos dengan tulisan #2019 Ganti Presiden. "Jan, buang kaos itu. Wong mau ganti Presiden kok pakai calon kaos, ya nggak pantes. Indonesia kok mau dipimpin kaos", ujar Mukidi.


EmoticonEmoticon