Orang Jawa menyebut leluhurnya yang paling tua dengan sebutan Mbah Cikal Bakal. Bahkan pada jaman dahulu orang Jawa menyebutnya Dang Yang. Beliaulah yang dahulu kala membuka hutan menjadi desa. Selanjutnya beliau mempunyai anak cucu. Mbah Buyut Cikal Bakal mempunyai rumah disebut Pepunden ( karena dipundi-pundi, dihormati) dan beliau akan menjadi Lurah atau orang yang dituakan di desa tersebut
Anak cucu Mbah Cikal Bakal semakin hari semakin bertamba banyak. Setiap tahun sekali para anak cucu ini sowan ke rumah Mbah Cikal Bakal. Hal ini disebut srodo. Biasanya para amak cucu ini membawakan makanan (cinjo,bhs Jw) untuk diberikan sebagai oleh – oleh kepada si Mbah Buyut ini. Bahkan juga bergembira ria dengan mengadakan tontonan. Ada yang wayang kulit, sandur, klonengam atau tayuban dan lain-lain sesuai kesukaan mereka.
Khusus untuk tayub ini juga mempunyai filosofi tersendiri. Tayub berasal dari kata To Yub yang artinya ditoto supoyo guyub ( diatur supaya rukun – bergotong royong ). Ketika beksan (menari) atau dalam istilah anak sekarang berjoget-ria, seseorang akan membentuk jari tangannya ‘nyekiting’, menarik sampur (selendang) kea rah dalam. Ini mempunyai filosofi hendaknya menarik hal yang baik. Selanjutnya tangan akan ;melempar ujung slendang kea rah luar. Ini mempunyai makna hendaknya manusia membuang hal yang jelek.
Kembali ke masalah Mbah Buyut Cikal Bakal. Jika Si Mbah Buyut ini sudah meninggal, maka para anak cucu datang membawakan makanan di kuburannya untuk selamatan disertai kirim doa. Itulah awal tradisi nyadran atau sedekah bumi.
Selain sebagai upaya mengingat jasa Pendiri Desa dengan cara selamatan dan kirim doa, sedekah bumi juga dimaknai sebagai suatu upacara adat yang melambangkan rasa syukur manusia terhadap Allah yang telah memberikan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi.
Bandingkan dengan pendapat KH Ahmad Muwafiq saat mengisi pengajian Umum dalam rangka halal bi halal dan Sedekah Bumi Dusun Japah Desa Bulumulyo, Batangan, Pati, Jawa Tengah, Senin (23/7/2018).
K.H. Ahmad Muwafiq atau lebih dikenal dengan Kyai Muwafiq atau Gus Muwafiq (lahir di Lamongan, 02 Maret 1974; umur 45 tahun) adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama' (NU) yang kini tinggal di Sleman, Yogyakarta.
Demikian , Salam Tiknan Tasmaun
Anak cucu Mbah Cikal Bakal semakin hari semakin bertamba banyak. Setiap tahun sekali para anak cucu ini sowan ke rumah Mbah Cikal Bakal. Hal ini disebut srodo. Biasanya para amak cucu ini membawakan makanan (cinjo,bhs Jw) untuk diberikan sebagai oleh – oleh kepada si Mbah Buyut ini. Bahkan juga bergembira ria dengan mengadakan tontonan. Ada yang wayang kulit, sandur, klonengam atau tayuban dan lain-lain sesuai kesukaan mereka.
Khusus untuk tayub ini juga mempunyai filosofi tersendiri. Tayub berasal dari kata To Yub yang artinya ditoto supoyo guyub ( diatur supaya rukun – bergotong royong ). Ketika beksan (menari) atau dalam istilah anak sekarang berjoget-ria, seseorang akan membentuk jari tangannya ‘nyekiting’, menarik sampur (selendang) kea rah dalam. Ini mempunyai filosofi hendaknya menarik hal yang baik. Selanjutnya tangan akan ;melempar ujung slendang kea rah luar. Ini mempunyai makna hendaknya manusia membuang hal yang jelek.
Selain sebagai upaya mengingat jasa Pendiri Desa dengan cara selamatan dan kirim doa, sedekah bumi juga dimaknai sebagai suatu upacara adat yang melambangkan rasa syukur manusia terhadap Allah yang telah memberikan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi.
Bandingkan dengan pendapat KH Ahmad Muwafiq saat mengisi pengajian Umum dalam rangka halal bi halal dan Sedekah Bumi Dusun Japah Desa Bulumulyo, Batangan, Pati, Jawa Tengah, Senin (23/7/2018).
K.H. Ahmad Muwafiq atau lebih dikenal dengan Kyai Muwafiq atau Gus Muwafiq (lahir di Lamongan, 02 Maret 1974; umur 45 tahun) adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama' (NU) yang kini tinggal di Sleman, Yogyakarta.
Demikian , Salam Tiknan Tasmaun
1 comments so far
Testing komen
EmoticonEmoticon