Suatu saat ada tamu datang ke rumah. Dia mengeluh, yang pada intinya jika tidak bekerja tiga hari saja maka periuk di dapur sudah terguling. Pekerjaan kawan ini adalah buruh bangunan.
Saat itu penulis tanya demikian : " Jadi menurutmu kamu menggantungkan makan dan segala kebutuhanmu dari pekerjaanmu sebagai pekerja bangunan ? " . Dia menjawab dengan pasti 'ya'. Artinya dia dalam keyakinannya menyatakan bahwa jika tidak ada orang yang mempekerjakan dia sebagai buruh bangunan maka dia tidak bisa makan. "Jika gak kerja begini ya gak bisa makan, Pak", ujarnya bernada mengeluh.
Saya ingatkan dia bahwa jika keyakinannya demikian maka hal itulah yang akan terjadi. Tapi jika mau menggantungkan (bahasa agamanya : tawakal ) rejekinya kepada Tuhan maka tidak ada persoalan apakah bekerja sebagai buruh bangunan atau tidak. Asal dengan niat mau bekerja sebagai wujud permohonan dan tawakal itu sendiri. Bahkan jika perlu ciptakan pekerjaan sebagai wahana berkarya di muka bumi ini.
Dengan keyakinan yang bulat bahwa rejeki dan kekayaan adalah atas kemurahan Allah maka manusia akan menggantungkan nasib dan peruntungan mutlak kepada-Nya semata, bukan kepada usaha dan tenaganya sendiri. Apalagi kepada 'rencana-rencana' yang dibuatnya sendiri. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan akan dianggapnya sebagai suatu tanggung jawab sebagai 'wakil-Nya' di muka bumi ini. Hatta hanya sebagai tukang atau buruh bangunan. Dengan demikian maka dalam hal bekerja seseorang itu akan amanah dan giat karena dia menganggap bukan bekerja bagi manusia namun semata-mata bekerja ( dalam bahasa agamanya disebut 'beribadah') semata-mata bagi Tuhan. Upahnya pun dia berharap semata-mata dari kemurahan-Nya berupa limpahan rejeki.
Dengan menerapkan prinsip tersebut, satu bulan berselang kemudian si kawan ini pamit pergi ke Luar Jawa untuk bekerja sebagai kuli bangunan di sana. Ketika pamitan, saya ingatkan kembali prinsip hidup tersebut.
Dua minngu kemudian, dia menelpon penulis sambil mengangis sedih. Katanya, si kepala kerja yang memborong pekerjaan bangunan yang dia ikuti melarikan diri sambil membawa uang gajian para buruh. Selesai dia mencurahkan keluh kesahnya, kembali penulis ingatkan, bahwa yang memberi rejeki kamu bukan kepala kerja ataupun boss bangunanmu melainkan Allah. Jika kamu bersandar akan kemurahan-Nya maka tentu Dia akan memberi dengan cara-Nya sendiri dengan penuh kelimpahan. Dia mengerti apa yang penulis maksudkan.
Dua hari kemudian si kawan ini menelpon lagi, mengatakan bahwa Boss Besar Pemilik Bangunan menemuinya. Si boss meminta kawan ini memimpin seluruh karyawan dan sekalian disuruh menghitung berapa rupiah total gaji karyawan yang belum terbayar karena dibawa lari kepala kerja. Si boss ini bersedia mengganti semuanya.
Belum genap sebulan berselang dari peristiwa itu, si Boss menawari kawan ini untuk memborong seluruh bangunan yang ada. Alhamdulillah, sampai sekarang kawan ini sudah berhasil sebagai seorang pemborong kerja bangunan di Luar Jawa. Dia kini hidup berkecupan bahkan berkelimpahan. Allah menolongnya karena keyakinannya. Sebagai wujud keyakinannya bahwa Allah Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rejeki, si kawan ini menjadi orang yang sangat dermawan sekali. Justru sikap dermawan itulah yang membuktikan bahwa mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Allah Maha Pemberi kekayaan. Semakin dia berderma maka dia berkeyakinan bukan harta makin berkurang tetapi makin berlebih. Bukan hanya berderma bagi sanak saudara, kawan dan handai tolan yang masih hidup di dunia saja, hatta kepada kaum kerabat yang sudah di alam barzahpun dia dermawan dengan cara mengirimkan baik shodaqoh jariah maupun selamatan dan tahlilan.
Nah, pembaca semua, dari kisah nyata di atas bukankah sudah terbukti bahwa masalah kerejekian dan kekayaan adalah masalah mental sepiritual ? Karena itu bersyukurlah bagi kita yang dianugerahi kemakmuran rejeki duniawi dengan cara 'membawa' rejeki dan kekayaan kita itu menjadi kekayaan rohani juga. Kekayaan duniawi itu bisa menjadi kekayaan rohani yang hakiki jika bisa bermanfaat untuk menghasilkan kemaslahatan hidup bagi anak istri, keluarga terdekat hingga terjauh dan sanak saudara serta handai tolan bahkan masyarakat sekitar. Amiin.
Salam, Tiknan Tasmaun.
Cari Artikel
Kekayaan Adalah Masalah Mental Spiritual : Kisah Nyata
Penulis Tiknan Tasmaun
Diterbitkan 12/07/2014 07:45:00 PM
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon