The human body contains the four elements of nature, namely earth, water, fire (heat) and wind (air). All four influence human desires.
The earth element affects the desire for food and drink and the sufficiency of the body's needs.
The air element influences the human spirit to acquire worldly possessions. Even how much wealth is obtained will still feel lacking for humans. Like smoke in the air, it will continue to grow and fill the existing space.
The fire element influences the human will to be angry and defend itself against threats.
The water element influences the human spirit to be patient and accept God's fate.
All four elements are important for the body. The influence on the will of the soul is also important so that humans can survive in the world. However, humans must also control these desires so that they remain within reasonable and controllable limits. If you cannot control them, you will fall into the lust of haughtiness or the lust of the devil.
The Cakra Manggilingan: A Javanese Philosophy About Karma
The Cakra Manggilingan, a Javanese philosophical concept, translates to "the rotating wheel." Inspired by Hindu-Buddhist thought, it symbolizes life's cyclical nature. In Javanese mythology, 'Cakra' represents Sri Krishna's divine weapon, while 'Manggilingan' means rotation. Essentially, life revolves like a wheel.
Karma: The Law of Cause and Effect
Karma, or the law of cause and effect, implies that every action has consequences. Although Islamic teachings don't explicitly mention karma, the concept exists. The Quran emphasizes that good deeds will be rewarded (QS. 99 Al Zalzalah: 7-8), while evil actions will face punishment. However, Allah's forgiveness can mitigate these consequences.
A Word of Caution
Consider your actions and treatment of others, for life's wheel can turn unexpectedly. Today's humble neighbor might become tomorrow's leader or influential figure. Beware of:
1. Exposing others' flaws, lest your own secrets be revealed.
2. Harming others, lest you suffer worse consequences.
3. Wrongdoing, lest you face punishment.
Redemption
If past mistakes haunt you, seek forgiveness. Allah's mercy can spare you from karma's repercussions.
Conclusion
Embracing humility, empathy, and self-awareness, we navigate life's complexities. Recognize the interconnectedness of human experiences and the inevitability of karma. Strive for compassion, kindness and forgiveness.
Despair often strikes without warning, leaving us feeling lost and hopeless. Shattered self-confidence, deep-seated pain, and dwindling faith can envelop us in darkness.
Yet, a glimmer of light can guide us out of this abyss.
Finding God in the Heart
When despair hits, discover God within. He is our strength, comfort, and hope. Through spiritual growth, we learn to:
Invite God's help in our life.
With God's presence, we rise above despair, finding peace, hope, and renewal.
For the Javanese people, God is an indescribable entity, transcending space and time. He is not only the creator of the universe but also accompanies humanity through His instruments or forces. Moreover, He resides within individuals who have discovered Him.
In Javanese philosophy, God's protective presence is embodied in four siblings and the fifth, the center. These symbolic elements represent:
1. Four siblings : The four fluids accompanying human life, symbolizing divine protection.
2. The center : The individual's inner self, housing God's presence.
3. Amniotic fluid : Representing divine protection and care.
4. Placenta : Symbolizing sustenance and livelihood.
This philosophical framework underscores the intimate connection between God, humanity, and the natural world, emphasizing spiritual harmony and balance.
Mengampuni dan Melepaskan: Kunci Kebahagiaan Sejati
Mengampuni dan melepaskan adalah dua konsep yang sangat penting dalam perjalanan spiritual dan emosional kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa mengampuni dan melepaskan adalah tindakan yang sulit dilakukan, namun sebenarnya keduanya adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati dan kedamaian dalam hidup.
Mengapa Mengampuni Penting?
1. *Mengurangi stres dan kecemasan*: Mengampuni dapat mengurangi perasaan negatif dan stres yang timbul dari dendam dan kebencian.
2. *Membuka ruang untuk kebahagiaan*: Dengan mengampuni, kita membuka ruang untuk kebahagiaan dan kedamaian masuk ke dalam hidup kita.
3. *Meningkatkan hubungan*: Mengampuni dapat memperbaiki hubungan dengan orang lain dan diri sendiri.
4. *Membuat kita lebih dewasa*: Mengampuni menunjukkan kedewasaan emosional dan spiritual.
2. *Pahami perspektif*: Coba memahami perspektif orang lain.
3. *Pilih untuk mengampuni*: Pilih untuk melepaskan dendam dan kebencian.
4. *Berdoa atau meditasi*: Berdoa atau meditasi untuk meminta bantuan dan kekuatan.
5. *Membuat keputusan*: Putuskan untuk mengampuni dan melanjutkan hidup.
Mengapa Melepaskan Penting?
1. *Mengurangi beban emosional*: Melepaskan dapat mengurangi beban emosional dan membuat kita merasa lebih ringan.
2. *Membuka ruang untuk pertumbuhan*: Melepaskan dapat membuka ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan.
3. *Meningkatkan keseimbangan*: Melepaskan dapat meningkatkan keseimbangan emosional dan spiritual.
4. *Membuat kita lebih bebas*: Melepaskan membuat kita lebih bebas untuk menikmati hidup.
Bagaimana Cara Melepaskan?
1. *Kenali apa yang harus dilepaskan*: Kenali apa yang harus dilepaskan, seperti dendam, kebencian atau kesedihan.
2. *Terima perasaan*: Terima perasaan, tapi jangan biarkan mengendalikan hidup.
3. *Pilih untuk melepaskan*: Pilih untuk melepaskan dan melanjutkan hidup.
4. *Lakukan ritual pelepasan*: Lakukan ritual pelepasan, seperti menulis surat yang tidak dikirim atau membakar simbol.
5. *Membuat keputusan*: Putuskan untuk melepaskan dan melanjutkan hidup.
Kesimpulan
Mengampuni dan melepaskan adalah dua konsep yang sangat penting untuk mencapai kebahagiaan sejati dan kedamaian dalam hidup. Dengan mengampuni dan melepaskan, kita dapat mengurangi stres, meningkatkan hubungan, dan membuat kita lebih bebas untuk menikmati hidup.
Artinya : Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) 'Isa disisi Allah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan (tubuh) -nya dari debu tanah, kemudian Allah berfirman : jadilah maka jadi.
Sedangkan dari keterangan di Serat Wirid Hidayat Jati karya Kiai Ageng Burhan alias R.Ng. Ronggo Warsito demikian penulis nukilkan :
"Ingsun Dzat Kang Moho Suci anitahake Adam saking anasir patang perkoro, yoiku : bumi, geni, angin lan banyu. Banjur ingsun pajang ngelmu limang perkoro, yoiku : Cahyo, Roso, Sukmo, Akal budi lan nafsu."
Artinya : Aku (Allah) Dzat Yang Maha Suci, menciptakan Adam dari anasir empat macam, yaitu tanah, api, angin dan air. Kemudian Aku isi dengan "ilmu" lima hal, yaitu : Cahaya, Rasa, Sukma, Akal budi dan Nafsu".
Nah, mulai dari perangkat tubuh jasmani, nafsu yang empat, akal fikiran, rasa yang sejati hingga nur cahaya (petunjuk) ilahi itu semua adalah anugerah Allah kepada manusia untuk dua kepentingan, yaitu supaya bisa menjalankan tugas sebagai 'wakil'-Nya dan sekaligus berfungsi untuk menuntun manusia supaya ketemu 'jalan pulang' , yaitu sangkan paraning dumadi. Hingga bisa kembali ke asal yang hakiki, رجيع الى الوطن الاصلى
SANGKAN PARAN
Hidup di dunia tak selamanya, suatu saat pasti akan kembali ke asal kita, (bakal bali marang sangkaniro).
كما قل الشيخ عبد القادر الجيلانى فى الكتاب سر الاسرار :(والعالم اللهوت) وهوالوطن الاصلى
Koyo dene sampun ngendiko Syekh Abdul Qodir Al Jailani (r.a) ing dalem Kitab Sirul Asror : Utawi alam Lahut iku negoro asal (sangkan paraning dumadi).
Artinya : Seperti sudah dikatakan oleh Syeh Abdul Qodir Jailani (r.a) dalam Kitab Sirrul Asror : Dan alam Lahut (alam ilahiyah) itu adalah negara asal ( tempat asal usul dan tempat kembali )
DUA HAL ISI HIDUP DI DUNIA
Susah dan senang adalah dua sisi mata uang kehidupan di dunia.
Namun apapun yang terjadi, mari tetap bersandar terhadap welas-asih-Nya dan tetap berikhtiar selaku makhluk yang dianugerahi akal.
Bersangka baiklah kepada Allah.
كما قل الله تعالى فى الحديث القدسي : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي
(koyo dene sampun dawuh sopo iku Allah Kang Moho Luhur ing dalem hadis qudsi : Ingsun ing dalem ( = nuruti ) penyanane kawuloningsun)
Artinya, seperti Firman Allah dalam hadis qudsi : Aku dalam (=menuruti) prasangka hambaKu.
Ini adalah dialog imajiner antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir di atas Gunung Tidar. Gunung Tidar adalah Gunung paku, pakunya Tanah Jawa. Juga gunung patok, patoknya Tanah Jawa. Juga disebut gunung punjer yang berarti punjer atau pusernya Tanah Jawa.
Konon kisah ini tertulis dalam lontar Sunan Drajad yang masih disimpan ahli keteurunan Beliau. Hikayat ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang songsong di Desa Drajad, Paciran, Lamongan. Kemudian kami juga mementaskan lakon ini dalam pertunjukan wayang Tengul saat hajatan pernikahan putri kami dengan sedikit penyesuaian. Pada pementasan di rumah, kami namai lakonnya dengan Lakon : Babat Tanah Jawi - Nikahnya Kanjeng Sunan Drajad.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala)Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyangnya (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang 'alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang 'alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut 'Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo (rakyat) memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau 'ajaran' asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada 'kapitayan' asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat 'tan keno kinoyo ngopo', tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan 'alam manusia'. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai 'wakil' dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Simak beberapa video cuplikan pementasan wayang pada hajadan nikahnya putri kami tercinta di bawah ini :
Mukidi sedang merenung sendirian. Tepatnya dia sedang bertafakur selepas memuja Tuhannya dalam sembahyang. Tiba-tiba Mukidi mendengar tiang kecil penyanggah kamarnya berbicara.
'Aku ini bisa tegak berdiri bukan karena paku ataupun terbil. Jika DIA tidak berkehendak mengokohkanku berdiri, tentu tak ada artinya paku maupun terbil ini', suara sang tiang.
'Terimakasih, aku kau jadikan alas sembahyang', sajada ikut-ikutan berbicara.
Mukidi kebingungan. Seumur-umur baru kali ini dia mengalami peristiwa yang demikian. Hatinya dapat menerima namun akal pikiran ragawinya memberontak. Mustahil benda-benda mati bisa berbicara sendiri. Tiba-tia dia turun dari amben tempat munajad, berlari ke luar rumah. Tempat yang dituju, kemana lagi kalau bukan ke tempat Paijan, salah satu sohib terdekatnya.
Belum sampai melewati batas pekarangan rumahnya, dia melihat Paijan sedang berdiri di depan pintu pagar jaro. 'Jan. sini, kebetulan. Aku mau ke rumahmu'. Mukidi menceritakan peristiwa yang dialaminya. Dia minta pendapat sahabatnya itu. 'Itu tadi suara siapa ya Jan', keluhnya.
'Memangnya ada suara lain selain suara-Nya ?', jawab Paijan berwibawa.
Makjleb. Mukidi tercekat. Kok tumben Paijan bisa sewaskita ini dalam menjawab. Dipandangnya saja tubuh kawannya itu. 'Jan, kamu kok tiba-tiba jadi bijaksana gini. Ya ya aku baru ngerti sekarang. Ya, wayang-wayang sedang diwayangkan oleh Sang Dalang', ujar Mukidi.
'Namun Di, jika kau bercerita kepada orang di warung tentu kamu akan dianggap sudah gila. Lebih bahaya lagi jika dianggap wali edan atau wali ngedan. Bisa-bisa dimintai nomor togel kamu', lanjut Paijan. Mukidi kembali menatap wajah sahabatnya itu.
Namun alangkah kagetnya Mukidi, di depannya kini bukan Paijan yang ada. Yang ada adalah sosok dengan wajah, perawakan dan pakaian persis dirinya sendiri. Paijan tidak ada, yang ada dirinya sendiri. Mukidi sedang berhadapan dengan 'Mukidi'.
"Walau tempayan banyak, bayangan matahari banyak namun matahari hanya satu. Srengengene sito tok. Tunggal. "Jangan-jangan ini bineka maujud namun tunggal wujud ?", gerutu Mukidi sendirian."
Mukidi clingak-clinguk sendirian di pelataran rumahnya. Rupanya tengah hari, matahari sedang panas-panasnya menyinarkan cahanya. Bahkan arak-arakan megapun tak ada. Langit sedang bersih biru membentang. Agaknya Sang Surya sedang ingin memamerkan wajahnya.
Di depan Mukidi ada sepuluh atau sebelas 'jombangan' - tempayan besar - berisi air semuanya. Dia sedang mengamati bayangan matahari di dalam tempayan. Ada sepuluh atau sebelas bayangan matahari di sana. Dia mendongak, mengintip matahari di langit. Ah, rupanya hanya satu mataharinya.
"Cuk, lapo koen iku Di," tiba-tiba terdengar suara sohibnya. siapa lagi kalau bukan Paijan. "Kayak orang gak waras saja."
Mukidi diam saja, tak menjawab cuitan sahabatnya. Malah sejurus kemudian dia berjingkrakan. "Ketemu...ketemu, ya aku sudah ketemu apa yang dimaksud Mbah Guru", ujar Mukidi sambil terus berjingkrak persis anak kecil nemu mainan.
"Jan, ini lho Jan. Yang aku cari-cari selama ini. Ternyata walau ada banyak bayangan matahari, tapi mataharinya itu satu. Tunggal.", celetuknya.
"Wis weroh, biyen mulo lak ngono. Kamu itu kesambet setan pagar apa ?", balas Paijan.
"Nggak Jan. walau berjuta 'gambar-Nya' di alam ini, Dia yang Maha Ada adalah Maha Tunggal, seperti gambaran matahari dalam tempayan ini. Nggak ada aku, kamu, dia, yang ada adalah Sang Maha Ada. Oh, Paijan sahabatku." cerocos Mukidi.
"Oh wong edan. Kamu itu tambah lama tambah sableng. Cangkemmu njeplak sak karepe udelmu. Embuh cuk, gak mudeng aku", pungkas Paijan sambil ngeloyor pergi.
Ngarit ternyata punya filosofi penting dalam kehidupan. Setidak-tidaknya itu menurut Mukidi dan Paijan. Bahkan menurut Mukidi, Kanjeng Sunan Kalijaga juga pernah ngarit.
Hari itu Mukidi dan Paijan sedang bercengkarama sambil ngopi di warung pinggir sawah. Kayaknya mereka sedang istirahat dari pekerjaan masing-masing. Melihat Wak Min ngarit di pematang sawah, mereka mendapat bahan obrolan yang lumayan seru.
Ilustrasi Google
"Di, lihat Wak Min, walau kerjanya cuma ngarit saja kok yan gak pernah kelihatan susah to ya", kata Paijan.
"Jan Jan, lha wong aku ini lho, walau dibilang orang gak kaya, tapi juga gak merasa susah kok", timpa Mukidi. "Susah senang itu letaknya di hati. Kamu jangan lihat Wak Min-nya yang ngarit, lihat di belakang wak Min, gitu lho ", lanjut Mukidi.
"Maksudnya ?" penasaran Paijan bertanya.
"Jan, maksudku, dibelakang wak Min, itu siapa yang menggerakkan Wak min ngarit itu. Ya sama dengan yang mengerakkan aku dan kamu ini. Kan soal ngarit, ngantor, nandur, atau ndagang, kan hanya pekerjaan yang jadi wajib manusia to ? Lha soal hidup, cukup apa nggak, kan soal Yang Sono," cerocos Mukidi lagi.
"Yo yo aku paham. Maksudmu Sing Ngecat lombok gitu kan ?!", sambung Paijan.
Mukidi meneruskan, layaknya kiyai ndongeng. Dulu pun ada wali yang kerjanya ngarit. walau hanya beberapa hari saja. Beliau adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Buruh ngarit di kediaman Adipati Pandanarang. Wali lho beliau itu. Mau-maunya ngarit. Demi suatu tujuan mulia yaitu mengembalikan fitrah kemanusiaan Sang Adipati.
"Lha kita itu ya ayo ngarit. Ngarit di kehidupan ini. Karena ngarit itu sinonimnya bocah angon. Angon sopo ? Ya angon diri sendiri dan keluarga. Angon nafsu kita. Sukur-sukur lulus. Kalau jatuh, ya bangun lagi. Itu lho, ada dawuh, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela dan diridloiNya" (al ayat).
JIWA YANG TENANG, siapa dia ?
Tentu jawabanya adalah manusia (dan juga jin sebagai makhluk yang juga dibebankan agama pada dirinya). Manusia yang bagaimana ? Yang ahli ibadah ? Yang 'alim ? Bagaimana dengan kita-kita yang ukuran ibadahnya sangat jauh sekali ini ? Bagaimana juga dengan kita-kita yang tidak 'alim atau pandai soal agama ini ?
Jangan terlalu risau. Allah tidak membebankan sesuatu yang di luar kemampuan kita. Seberapa kita mampu asal ikhlas, itulah yang dinilai olehNya. Kembali ke masalah jiwa yang tenang, siapa dia ? Bisakah kita termasuk di dalamnya ?
Sebenarnya jawabannya adalah ada di hati kita masing-masing. Jika kita sudah mampu mengendalikan diri -yaitu nafsu dengan segala keinginan kita- bukan kita yang dikendalikan nafsu, maka ketika itulah kita sudah masuk ke wilayah jiwa yang tenang.
MAKNA KEMBALI KEPADA TUHAN
Kembali mempunyai beberapa makna yaitu :
-mati, namun bukan ini yang hendak kita bicarakan.
-menghubungkan diri atau mengembalikan diri kepada Allah. Ini poin yang penting yang harus kita hayati.
Ternyata dari ayat diatas, ketika kita mengembalikan diri kita seutuhnya kepadaNya maka bukanlah harta, ilmu maupun amalan yang diminta olehNya. Hanya rasa ikhlas, rela atau ridlo yang dipersyaratkanNya. Janganlah kita sampai menyombongkan diri dihadapanNya dengan merasa kita sudah banyak beramal dan berilmu.
RIDLO ATAU IKHLAS BERTUHANKAN ALLAH
Mari kita datang kepadaNya baik ketika sholat, berdoa, zikir hatta ketika kita tidur maupun ketika kita beraktifitas apapun dengan cara kita 'kembalikan' diri kita seutuhnya kepadaNya. Kita sadari bahwa 'rasa melihat' ini milikNya, kita kembalikan kepadaNya dengan mensukurinya. Begitu juga 'rasa-rasa' yang lainnya, rasa mendengar, mencium, rasa tau dan lain-lain. Aapun itu jangan samai kita akui sebagai milik kita sendiri.
Jika semua sudah kita kembalikan kepada Allah termasuk hidup kita maka kita tinggal mohon untuk dituntun olehNya dalam kehidupan ini. Biarkan kasihNya menuntun kehidupan kita. Biar kita pasrah sepasrah-pasrahnya. Sehingga apapun yang kita lakukan hanya ikhlas demi ridloNya.
Salah satu ujaran dalam falsafah Jawa dikenal dengan istilah CAKRA MANGGILINGAN. Cakra artinya lingkaran atau sesuatu yang serupa roda. Cakra, dalam khasanah pewayangan dikenal sebagai senjata sakti Sri Kresna sebagai titisan Dewa Wisnu. Sedangkan manggilingan berarti berputar. Maka bahasa ringkasnya jaman sekarang adalah "kehidupan ibarat roda berputar".
Sedangkan KARMA adalah hukum alam yang mempunyai pengertian 'Sebab - akibat'. Ada kawan yang membantah pendapat penulis demikian, kan dalam ajaran Islam tidak ada istilah hukum karma ?. Saya jawab, ya memang tidak kita temukan istilah karma dalam khasanah agama Islam. Tetapi menurut pendapat penulis, secara esensi makna karma itu ada.
Misalnya dalam keterangan bahwa sekecil apapun kebaikan yang kita buat pasti akan ada balasannya (sebagai akibatnya ) dan begitu juga sebaliknya (QS. 99 Al Zalzalah : 7 - 8 ). Hanya saja dalam konsep Islam, jika seseorang bertaubat dan mohon ampunan atas kejahatan yang telah dilakukan maka Allah Maha Pengampun. Ampunan Allah itulah yang menghapus 'akibat' (siksa dalam segala bentuknya sebagai akibat dari sebab perbuatan jahat tersebut).
Karena itu, hai sahabat semua. Pandanglah sesamamu di kiri kananmu. Lihatlah dengan cermat. Suatu hari kau tidak akan menyangka menjadi apa kamu dan menjadi apa mereka. Boleh jadi teman atau tetangga yang selalu kau hina suatu hari menjadi orang penting di lingkunganmu atau bahkan negaramu, atau menjadi orang super kaya, atau menjadi orang 'alim dan lain sebagainya, Atau orang yang kau sanjung-sanjung, suatu hari bisa jadi kehidupannya akan berubah.
Juga hati-hati terhadap perilaku kita terhadap sesama makluk. Apapun alasannya jika kita membuka aib orang, suatu saat cakra manggilingan akan mengenai kita, aib kita yang akan terbuka lebih dahsyat dan menjijikkkan. Jika kita berusaha mencelakakan orang, maka suatu saat kita juga akan lebih celaka lagi. Jika kita mendorong orang baik-baik untuk dipenjara maka suatu saat penjara akan menanti kita. Hanya saja jika semua sudah terlanjur, marilah bertobat supaya azab sebagai bagian dari cakra manggilingan-nya karma tidak ditimpakan kepada kita semata-mata karena ampunan-Nya.
Kehidupan ibarat roda berputar, kata pepatah. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Ketika kita bergembira, banyak-banyaklah berterimakasih kepada Allah. Karena hanya sebab kemurahan-Nya semata maka Anda bisa bahagia. Bagaimana sikap terbaik waktu susah ? Mawas diri jawabannya.
Susahpun banyak macamnya. Ada yang mengalami kesusahan karena sesuatu yang memang pantas untuk merasa susah, namun juga ada yang merasa susah karena memang 'salah' sudut pandangnya terhadap problem yang dihadapinya. Apapun itu, maka sikap mawas diri-lah yang terbaik. Mawas diri adalah menghitung diri sendiri, kelemahan, kesalahan, kesombongan diri, dan masih banyak lagi.
Ketika berdoa kepada Allah, cobalah berdoa dengan doa mawas diri, misalnya dengan doa yang isinya kurang lebih demikian : " Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau Maha Benar, apapun takdir-Mu selalu benar, keadaan susah ini adalah akibat ulah-salahku sendiri."
Ketika kita mawas diri kemudian tahu batasan diri sendiri maka kesedihan atas sesuatu itu akan diambil dari dada ita. Karena sesungguhnya kesusahan adalah 'rasa' yang ada dalam jiwa kita akibat cara pandang kita dalam menyikapi masalah yang menimpa. Terakhir, apapun yang terjadi janganlah kita berprasangka buruk terhadap Allah. Tetap berprasangka baik kepada-Nya, bahwa apapun yang terjadi Dia sangat sayang kepada kita dan pasti menolong kita selagi kita membuka diri terhadap-Nya.
Sesuai prinsip atau rumus kehidupan yaitu apa yang kita percayai - apa yang menjadi prasangka kita - maka itu yang terjadi, maka hati-hati ketika merasakan roda kehidupan seakan - akan sedang ada di bawah. Jangan sampi kegalauan hati menimbulkan prasangka bahwa Allah 'sedang menguji kita' sehingga Dia berperilaku menjadi 'tidak bermurah lagi alias pelit' kepada kita. Sekali - kali jangan ada terbesit prasangka demikian. Bukan masalah apa - apa, hanya takutnya jika sampai berprasangka demikian maka justru hal itu yang menjadi kenyataan yang kita rasakan terjadi dalam hidup kita. Ingat prinsip ilahiyah ini :"Aku Allah mengikuti prasangka hambaKu".
Karena itu justru ketika merasakan roda kehidupan ada di bawah, misalnya hasil pekerjaan kurang dari yang kita harapkan, keuangan mengalami penurunan pemasukan sedang kebutuhan meningkat atau sedang ada problem rumah tangga, maka selayaknya kita justru meningkatkan kesadaran diri yang jati bahwa saat itu Allah sedang mempersiapkan segala hal yang akan lebih baik lagi keadannya. Ingat prinsip roda, jika sudah terletak di bawah, pasti babak berikutnya roda itu akan menaik ke atas kembali. Itulah sunah (lumrah, kebiasaan) kehidupan.
Berpikir positif itu kuncinya. Sadarilah bahwa Yang Maha Kuasa senantiasa berlaku kasih dan sayang kepada kita. Jadikan hal itu bukan lagi hanya keyakinan semata, tetapi 'lihat dan saksikan sendiri' bahwa hal itu adalah fakta. Sekali lagi fakta dan faktual.. Dalam bahasa agama disebut bahwa keyakinan yang sudah menaik menjadi seakan - akan meyaksikan sendiri bahwa itu fakta, faktual, bukan lagi asumsi keyakinan semata, maka hal tersebut disebut keyakinan yang sudah 'ainul yaqin.
Justru ketika kehidupan kita lagi terasa ada di bawah, maka saksikan bahwa Dia Maha Menolong. Bahwa Dia Maha Mengabulkan harapan dan do'a. Bahwa Dia Maha Pemurah, Maha Pemberi rejeki tak terhingga. Dan jika kita sudah bisa bersaksi demikian maka pertolongan-Nya insya Allah sungguh dekat. Karena apa yang kita persaksikan - apa yang menjadi prasangka kita- itulah yang akan diijabah oleh-Nya. Amiin.
Kemarin sora hingga tadi malam kita disuguhi berita tentang gejala akan terjadinya tawuran antar suporter bola di tanah air, khususnya bebotoh versus jackmania. Untungnya pihak Kepolisian mampu mendeteksi dini dan sekaligus meredam gejolak ini hingga bisa ditangani dengan baik.
Anak-anak muda ini sebenarnya anak yang luar biasa. Mereka tidak takut kematian. Andai saja mereka hidup di jaman perjuangan mungkin mereka juga akan dengan heroik ikut perang membela tanah air dengan semboyan lebih baik mati dari pada dijajah.
Ya, anak - anak muda ini tidak takut kematian. Namun sayang, justru kehidupan yang sepatutnya dihargai sedemikian rupa justru dicederai hanya karena emosi yang meledak gara-gara fanatik terhadap klub bola kesayangannya.
Kasus tidak menghargai kehidupan ini begitu banyak terjadi, bisa kita saksikan baik dari berita dari dalam maupun luar negeri. Dalam negeri misalnya kasus tawuran warga di Aceh Singkil. Di Luar Negeri misalnya perang abadi Israel - Palestina, perang Yaman , perang oleh ISIS dan lain sebagainya. Mereka-mereka ini justru 'terlalu' berani menyongsong kematian sehingga lupa membangun dan merawat kehidupan.
Ingat bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah 'mewakili Allah' (kalifatullah ) dalam memakmurkan bumi alias dunia ini. Justru itu seberapa besar kontribusi kita terhadap kehidupan ini maka itulah nilai yang kita dapatkan, bukan sebaliknya. Seorang muslim yang benar adalah orang yang sedemikian rupa hingga tetangganya selamat dari mulut dan tangannya.
Sumpahan : kutukan dan berkah. Hati - hati mengeluarkan sumpahan baik kepada keluarga sendiri maupun orang lain. Sumpahan atau kutukan adalah doa yang berisi kejelekan yang ditujukan kepada orang maupun makhluk lain. Hal tersebut terjadi mungkin karena kejengkelan hati atau rasa marah yang tertahankan. Ingat : sebelum kutukan itu menimpa orang lain maka kutukan itu akan menyasar si empunya kutukan dulu, yaitu si pengutuk.
Sebaliknya jika anda menebarkan berkah maka sebelum orang yang anda doakan mendapan berkah maka berkag akan lebih dulu datang kepada anda. Ucapan berkah adalah kebalikan dari sumpahan atau kutukan. Ianya adalah doa baik yang anda tujukan kepada orang lain.
Mengapa hal itu bisa terjadi ? Semata - mata adalah karena keadilan Ilahi yang bersanging dengan sifat Rahman-Nya, welas asih-Nya. Sesetengah ilmuwan mengatakan bahwa air mampu menerima dan merekam ucapan manusia, baik itu ucapan kutuk maupun berkah. Padahal dalam dalam diri tubuh manusia mengandung mayoritas bahan air. Sehingga tubuh kita sendiripun merekam segala ucapan dan emosi kita. Belum lagi alam sekitar yang juga banyak mengandung air baik udara, tumbuhan, bumi dan sebagainya. Bukankah semua itu menrekam ucapan kita juga.
Sumpahan : kutukan dan berkah
Lebih dari pada itu, yang mesti kita ingat adalah rumus kehidupan ini : Makhluk di alam semesta ini adalah 'Wajah-Nya', semua makhluk adalah 'perwakilan-Nya', diatas itu semua tentu lebih khusus lagi adalah manusia. Manusia adalah khalifatullah fil ardli, wakil Tuhan di bumi. Jadi apapun perlakuan kita kepada sesama makhluk maka itu dinilai sebagai perlakuan kita kepada-Nya. Jika kita menebar kasih kepada sesama makhluk maka kita juga akan mendapatkan cinta kasih Allah. Sebaliknya jika kita menyakitkan sesama makhluk tentu DIA Yang Empunya segala makhluk ini yang akan tidak terima, maka kitapun akan mendapatkan balasannya juga.
Bagaimana jika sudah terlanjur menyakitkan sesama maklhuk ? Contoh pada artikel ini adalah menebar kutkan kepada sesama, maka jalan satu-satunya adalah mohon ampunan kepada Tuhan Sang Pemilik Makhluk sekaligus minta maaf kepada maklkuk atau orang yang kita sakiti atau kita kutuk tadi, selagi hal itu memungkinkan. Tebusan berikutnya adalah berusaha sebisa dan sesering mungkin 'menyenangkan' sesama makhluk dengan harapan mendapan ridlo Allah.
Ingatlah pada hukum sebab akibat, dosa pahala ataupun karma. Semua itu tiada putusnya. Yang mampu memutus hanyalah rahmat Allah. Karena itu dianjurkan banyak-banyak istighfar. Contoh kasus yang saya temui sebenarnya banyak sekali, namun lain kali saja disambung lagi.
Suatu saat ada tamu datang ke rumah. Dia mengeluh, yang pada intinya jika tidak bekerja tiga hari saja maka periuk di dapur sudah terguling. Pekerjaan kawan ini adalah buruh bangunan.
Saat itu penulis tanya demikian : " Jadi menurutmu kamu menggantungkan makan dan segala kebutuhanmu dari pekerjaanmu sebagai pekerja bangunan ? " . Dia menjawab dengan pasti 'ya'. Artinya dia dalam keyakinannya menyatakan bahwa jika tidak ada orang yang mempekerjakan dia sebagai buruh bangunan maka dia tidak bisa makan. "Jika gak kerja begini ya gak bisa makan, Pak", ujarnya bernada mengeluh.
Saya ingatkan dia bahwa jika keyakinannya demikian maka hal itulah yang akan terjadi. Tapi jika mau menggantungkan (bahasa agamanya : tawakal ) rejekinya kepada Tuhan maka tidak ada persoalan apakah bekerja sebagai buruh bangunan atau tidak. Asal dengan niat mau bekerja sebagai wujud permohonan dan tawakal itu sendiri. Bahkan jika perlu ciptakan pekerjaan sebagai wahana berkarya di muka bumi ini.
Dengan keyakinan yang bulat bahwa rejeki dan kekayaan adalah atas kemurahan Allah maka manusia akan menggantungkan nasib dan peruntungan mutlak kepada-Nya semata, bukan kepada usaha dan tenaganya sendiri. Apalagi kepada 'rencana-rencana' yang dibuatnya sendiri. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan akan dianggapnya sebagai suatu tanggung jawab sebagai 'wakil-Nya' di muka bumi ini. Hatta hanya sebagai tukang atau buruh bangunan. Dengan demikian maka dalam hal bekerja seseorang itu akan amanah dan giat karena dia menganggap bukan bekerja bagi manusia namun semata-mata bekerja ( dalam bahasa agamanya disebut 'beribadah') semata-mata bagi Tuhan. Upahnya pun dia berharap semata-mata dari kemurahan-Nya berupa limpahan rejeki.
Dengan menerapkan prinsip tersebut, satu bulan berselang kemudian si kawan ini pamit pergi ke Luar Jawa untuk bekerja sebagai kuli bangunan di sana. Ketika pamitan, saya ingatkan kembali prinsip hidup tersebut.
Dua minngu kemudian, dia menelpon penulis sambil mengangis sedih. Katanya, si kepala kerja yang memborong pekerjaan bangunan yang dia ikuti melarikan diri sambil membawa uang gajian para buruh. Selesai dia mencurahkan keluh kesahnya, kembali penulis ingatkan, bahwa yang memberi rejeki kamu bukan kepala kerja ataupun boss bangunanmu melainkan Allah. Jika kamu bersandar akan kemurahan-Nya maka tentu Dia akan memberi dengan cara-Nya sendiri dengan penuh kelimpahan. Dia mengerti apa yang penulis maksudkan.
Dua hari kemudian si kawan ini menelpon lagi, mengatakan bahwa Boss Besar Pemilik Bangunan menemuinya. Si boss meminta kawan ini memimpin seluruh karyawan dan sekalian disuruh menghitung berapa rupiah total gaji karyawan yang belum terbayar karena dibawa lari kepala kerja. Si boss ini bersedia mengganti semuanya.
Belum genap sebulan berselang dari peristiwa itu, si Boss menawari kawan ini untuk memborong seluruh bangunan yang ada. Alhamdulillah, sampai sekarang kawan ini sudah berhasil sebagai seorang pemborong kerja bangunan di Luar Jawa. Dia kini hidup berkecupan bahkan berkelimpahan. Allah menolongnya karena keyakinannya. Sebagai wujud keyakinannya bahwa Allah Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rejeki, si kawan ini menjadi orang yang sangat dermawan sekali. Justru sikap dermawan itulah yang membuktikan bahwa mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Allah Maha Pemberi kekayaan. Semakin dia berderma maka dia berkeyakinan bukan harta makin berkurang tetapi makin berlebih. Bukan hanya berderma bagi sanak saudara, kawan dan handai tolan yang masih hidup di dunia saja, hatta kepada kaum kerabat yang sudah di alam barzahpun dia dermawan dengan cara mengirimkan baik shodaqoh jariah maupun selamatan dan tahlilan.
Nah, pembaca semua, dari kisah nyata di atas bukankah sudah terbukti bahwa masalah kerejekian dan kekayaan adalah masalah mental sepiritual ? Karena itu bersyukurlah bagi kita yang dianugerahi kemakmuran rejeki duniawi dengan cara 'membawa' rejeki dan kekayaan kita itu menjadi kekayaan rohani juga. Kekayaan duniawi itu bisa menjadi kekayaan rohani yang hakiki jika bisa bermanfaat untuk menghasilkan kemaslahatan hidup bagi anak istri, keluarga terdekat hingga terjauh dan sanak saudara serta handai tolan bahkan masyarakat sekitar. Amiin.
"Ya Tuhan, berilah hamba kesejateraan di dunia dan kesejahteraan di akherat kelak serta jauhkan hamba dari siksa / kesengsaraan"(makna bebas dari doa sapu jagad)
Apakah kekayaan duniawi yang kita pinta maupun yang telah kita punyai dapat kita bawa sebagai bekal jika kita telah berpindah alam dari alam duniawi menuju alam 'kesejatian' kelak ? Sebuah pertanyaan yang layak menjadi perenungan kita bersama. Dan saya yakin jawabnya : BISA bahkan SANGAT BISA.
Mengapa bisa ? Tentu bisa, jika apapun yang kita punya kita serahkan dan kita gunakan untuk 'menyenangkan-Nya' (dalam terminologi agama disebut mencari ridlo-Nya) maka apapun itu justru mampu mendekatkan kita kepada Tuhan Semesta Alam.
Bukan hanya itu, bahkan kesadaran kita dari awal yang harus dibentuk. Sebuah kesadaran dan pemahaman bahwa doa kita, usaha kita dan keberhasilan kita itu semua semata-mata atas kemurahan kehendak-Nya semata. Jika kesadaran tersebut telah mendasari jiwa kita maka penggunaannya (diri, jiwa, harta benda) pun menjadi semata-mata untuk upaya mendekati-Nya dan menyenangkan-Nya. Jika hal ini bisa kita lakukan maka kita telah menggenapi makna doa sapu jagad yang kita panjatkan tiap saat : "Robbana atiina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah, waqina adzaban nar". Kita telah menggenapi permohonan kebaikan (termasuk kesehatan, keselamatan, kekayaan) sejak di dunia hingga ke akhirat kelak.
Jadi jangan takut untuk meminta kekayaan duniawi (uang, harta, pangkat, dll) sepanjang kita niatkan untuk kita kembalikan sebagai sarana pengabdian diri kita kepada-Nya. Sedangkan realisasi makna pengabdian kepada Allah adalah kita 'melayani-Nya' melalui berbagai bentuk baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial yaitu pelayanan kita kepada sesama makhluk.
Kesalehan sosial yaitu pelayanan kita terhadap sesama makhluk dalam hal ini adalah sesama manusia bisa kita mulai dari mereka-mereka yang terdekat dengan kita. Mereka itu adalah anggota keluarga yang serumah, yang tidak serumah, kawan, sahabat handai tolan, tetangga dan kepada siapapun yang terjumpa dengan kita. Mereka itu adalah sarana perwujudan pengapdian kita kepada Ilahi.