AJI PAMELING - WIRID MALADIHENING


Para orang tua dulu yang bijaksanan mengajarkan  Aji Pameling atau Wirid Maladihening. Disebut aji pameling karena berasal dari akar kata eling, ingat atau dzikir. Disebut maladihening karena mengheningkan hati atau kalbu. Mengheningkan punya makna menyucikan, bahasa jawanya 'ambeningake', menjernihkan maksudnya.

Dalam laku 'eling' atau dzikir bukan saja mulut mengucapkan lafal atau mantra tetapi lebih kepada 'rasa' ingat dan sekaligus penyaksian. Penyaksian antara dirinya, TuhanNya , nabinya dan perhubungan adintaranya. Diterangkan bahwa barang siapa yang ahli melakukan ini maka dia akan memperoleh kesaktian dan 'kawicaksanan' ( kebijaksanaan hati) bahkan 'weruh sadurunge winarak ( tahu senbelum terjadi).

Sebenarnya bukan itu maksudnya. Yang dimaksud adalah bagi sesiapa yang mempunyai ilmu ini dan ikhlas melakukannya maka dia akan dekat dengan Tuhannya. Tentu saja jika sudah dekat dengan-Nya maka hidupnya akan diberkahi, segala masalahnya akan ditolong olehNya. Dalam pemahaman leluhur  Jawa itu kemudian diistilahkan dengan 'sakti'. Makna yang hakiki adalah 'mendapat pertolongan-Nya'. Bukankah ada janji Allah bahwa barang siapa ingat Allah maka Diapun akan mengingat (memberikan rahmat dan pertolongan) kepadanya.

"BismIlahirrahmanirrahim

Melebu Allah,

Metu Allah,

Anekadaken urip iku Allah,

Utek dunungno kodrate Allah,

Ya Hu,

Allah Ya Hu,

Allah Ya Hu,

Allah,

Nabi Muhammad iku utusane Allah".


Artinya :

"Dengan nama Allah Yang Maha berbelas kasihan serta amat penyayang.

Masuk Allah,

Keluar Allah,

menyaksikan bahwa sejatinya Yang Maha Hidup itu Allah,

wahai otak pahamilah  akan kodrat (kekuasaan) Allah,

Wahai Dia Sang Dzat (Huwa),

Allah Wahai Dzat (Huwa),

Allah Wahai Dzat (Huwa),

Allah

Nabi Muhammad itu utusannya Allah."

Perenungan dan penghayatannya kurang lebih demikian :

Bahwa masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. selagi manusia ditentukan untuk hidup di dalam jasadnya di bumi ini. Itu 'karya' atau af'al Allah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi dan 'memegang' nafas kita. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa kecuali (totalitas). Sehingga dipahami bahwa hakekatnya Yang Hidup itu adalah Allah semata. Sedang manusia hanya duhidupkan, artinya hidup atas kemurahan Allah. Kemudian memanggil - manggil Nama-Nya dengan mesra. Juga Si Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu Rasulullah.

Mengenai tata cara pelaksanannya sebenarnya relatif. Bisa dengan cara mengambil waktu yang hening. Malam hari di kala sunyi misalnya. Bersih (suci) badan dan tempat. Menghadap keblat sebagai tanga kebulatan tekad untuk menghadapNya. ( Karena pada hakekatnya kemanapun kita menghadap maka disitu kita menghadap wajahNya).

Bisa juga diamalkan dalam keseharian kita. Bahkan itulah yang terbagus. Namun tentu saja yang terbaik lagi adalah jika wirid tersebut telah menyatu dalam diri kita sehingga berbuah dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti halnya peringatan Allah bahwa sesungguhnya sembahyang (sholat) itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar. Nah bukankah di dalam ritual sholat juga pada intinya dzikir atau ingat kepada Allah ? Di dalamnya juga ada penyaksian seorang hamba terhadap Tuhan dan nabinya. Nah wirid di atas adalah cara penghayatan terhadap 'rasa' ingat dan penyaksian tersebut.

Sekian semoga bermanfaat. Salam, Tiknan Tasmaun.


EmoticonEmoticon