Bubur Sengkolo
Dalam pelaksanaannya memang bubur ini tidak disajikan 'hanya sendirian' saja. Tentu masih banyak jenis makanan lainnya. Biasanya terdiri dari tumpeng (nasi yang disajikan dalam bentuk gunungan / kerucut ), lauk-pauk, jajan pasar dan lainnya. Kali ini penulis ingin menyoroti khusus mengenai bubur sengkolo atau merah putih ini.Secara filosofi masyarakat Jawa sejak dahulunya telah meyakini akan adanya 'Kuasa' yang mengatasi segala sesuatu. Penyebutan 'Sang Kuasa' ini banyak ragam. Ada yang menyebut 'Sing Gawe Urip' ( Yang menguasai kehidupan - yang menciptakan kehidupan' ), 'Kang Moho Kuwoso' ( Yang Maha Berkuasa ), 'Sang Hyang Moho Dewo' (Sang Maha Dewa) dan masih banyak jenis penyebutan lainnya. Hal demikian telah ada pada masyarakat Nusantara secara khususnya masyarakat Jawa kuno jauh sebelum agam Hindu dan Buda masuk tanah Jawa. Ada sebagian peneliti yang menyebut kepercayaan asli orang Jawa ini dengan nama 'agama' KAPITAYAN. Kepercayaan dan filosofi akan adanya 'Yang Maha Kuasa' tersebut kemudian mendapat bentuknya lagi setelah adanya pengaruh agama - agama yang silih berganti masuk dan dianut oleh masyarakat Jawa.
Salah satu sikap dalam memposisikan diri untuk 'kembali' kepada fitrah dan 'kembali' kepad Tuhan YME diwujudkan oleh masyarakat Jawa dalam bentuk simbol selamatan bubur sengkolo atau merah putih ini. Hal tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan kembali kepada asal-muasal manusia yang diciptakan oleh Allah dari sari pati bumi melalui 'darah merah' Ibu dan 'darah putih' Ayah sebagai perantaraan wujudnya di dunia ini.
Dengan demikian selamatan bubur sengkolo merah putih juga dimaksudkan sebagai ungkapan doa 'penyerahan diri' kepada Tuhan untuk memohon keselamatan dan keberkahan karena meyakini bahwa pada asalnya manusia tidak mempunyai daya kekuatan apa-apa, hanya sebentuk darah merah dan putih. Hanya karena kuasa Allah semata-mata yang menciptakan dan memberi hidup dan penghidupan kepada manusia. Maka selayaknya segala sesuatu dikembalikan kepada-Nya. Hal ini seiring dan selaras dengan filosofi yang ditekankan Islam bahwa segala sesuatu itu pada hakekatnya 'Laa haula wa laa quwata illa billah' tiada pertolongan dan kekuatan melainkan hanya dengan pertolongan dan kekuatan Allah semata.
Upaya doa yang dibarengi atau bahkan diwujudkan dalam bentuk lambang selamatan tersebut bisa diterima dan dilestarikan oleh kalangan sebagian masyarakat muslim hingga sekarang. Bahkan hal tersebut diterima sebagai do'a bil isyaroh, yaitu upaya doa yang direalisasikan dalam bentuk perlambang untuk meneguhkan dan menguatkan 'pengharapan' akan keyakinan terhadap dimakbulkannya doa tersebut.
Pada sisi lain, upaya atau ikhtiar bathiniah yang berupa selamatan atau do'a bil isyaroh tersebut biasanya sangat mustajab atau sangat mudah untuk berhasil. Hal ini sangat masuk akal. Karena apa ? Tidak lain adalah karena selamatan tersebut juga mempunyai beberapa nilau plus yang sangat terpuji dan bermanfaat. Antara lain adalah selamatan tersebut merupakan salah satu bentuk 'shodaqoh' yang amat nyata. Sedangkan beberapa nilai tambah lainnya adalah : menguatkan tali silaturhim antar tetangga dan sanak famili dan juga doa bersama atau jamaah. Sehingga sangat masuk akal jika upaya atau ikhtiar ini sangat mudah diijabah oleh Allah sehingga berhasil apa yang dihajatkan. Wallhu a'lam.
1 comments so far
terima kash atas pemaparan yg secara gamblang tentang selamatan bubur sengkolo yg kadang2 bnyak sbgian orang salah niat selamatan ini sbgai suguh u pedanyangan atau sejenisnya.insyaAllah bermanfaat
EmoticonEmoticon