Nama Raden Hangabehi Ronggowarsito tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Namun amat sedikit yang mengetahui baik sejarah hidupnya maupun hasil karya-karyanya. Beliau hanya banyak dikenal sebagai Pujangga Jawa dan Pandito Jawa, dengan karya futuristiknya : "Serat Kalatida" dengan "Jaman Edan"-nya. Sisi - sisi yang lainnya,- misalnya sebagai ulama Islam, pengarang kitab tasawuf, pejuang Islam dengan mendirikan madrasah misalnya-, jarang diketahui generasi masa kini.
Beliau adalah Raden Burhan, seorang dari 'trah ningrat' kraton Solo. Raden Burhan ini adalah cucu seorang tumenggung keraton Solo. Ketika masa kecilnya, beliau menimba ilmu di sebuah pesantren di Ponorogo. Tepatnya di pesantren yang diasuh oleh Mbah Kiyahi Hasan Bashori, yang terkenal di masyarakat setempat dengan nama Mbah Kasan Besari, karena versi lidah Jawa.
Dalam perjalanannya mencari ilmu ternyata dia ini termasuk golongan anak yang kurang cerdas sekaligus bisa dikatakan bengal. Sampailah suatu masa dia mengeluh kepada ‘Paman’ penjaganya. (Sebagai seorang ningrat maka kemanapun pergi di’sangoni’ seorang penjaga atau pamomong).
Si Burhan kecil bertanya kepada paman-pamomongnya ini mengapa dia bodoh sekali. Mengapa dia merasa sangat sulit menerima pelajaran dari para guru di pondok. Dia ingin juga menjadi pandai seperti anak-anak yang lain. Sang Paman menyarankan supaya Raden Burhan meniru Eyang Kakung untuk memohon kepada 'Gusti Kang Moho Welas Asih' dengan cara melakukan tirakat. Berbagai macam tirakat yang bisa dilakukan. Mulai puasa Senin Kamis, mutih, ngrowot, wiridan, semedi dan lain-lain.
Sang Paman ini menerangkan bahwa Ndoro Eyang Kakung - yang adalah tumenggung Solo - sering melakukan tirakat sebagai bentuk doa permohonan kepada Allah. Eyang Kakung sering melakukan tirakat dengan cara 'Topo Kungkum'. Si Paman ini menganjurkan Raden Burhan kecil untuk tirakat dengan methode ‘topo kungkum’ juga.
Topo kumkum adalah ritual berendam dalam air. Biasanya dipilih air sungai yang mengalir airnya. Maka Raden Burhan dengan diantar sang penjaga ini melaksanakan ritual topo kungkum selama 40 malam. Pada malam yang terakhir terjadi kejadian yang luar biasa yaitu seberkas cahaya biru kehijau-hijauan datang dari langit dan jatuh tepat padanya saat kungkum berendam di sungai tersebut.
Mungkin itu adalah tanda datangnya pertolongan Allah, orang Jawa menyebutnya 'pulung' atau 'wahyu'. (Catatan :Wahyu dalam konsepsi Jawa berbeda maknanya dengan Wahyu dalam konsepsi agama). Buktinya selepas itu Raden Burhan menjadi sangat cerdas. Bukan hanya cerdas dari segi ilmu-ilmu lahiriah saja tetapi juga dianugerahi ilmu-ilmu bathiniah yang lembut-lembut nan dalam.
Hingga karena kecerdasannya dan ke’wasis’annya (mempunyaimata hati yang ‘linuwih’ maka setelah dewasa beliau diangkat oleh Susuhunan Mangkunegoro sebagai pujangga dalem keraton. Beliau diberi anugerah gelar Kanjeng Raden Hangabehi Ronggowarsito.
Karya-karyanya antara lain adalah kitab Kalatida dan kitab Serat Wirid Hidayat Jati. KitabKalatida berisi prediksi-prediksi masa depan apa yang akan terjadi. Bisa jadi juga hal tersebut adalah sindiran pada masyarakat waktu itu. Khusunya sindiran kepada para pembesar-pembasar keraton yang dianggapnya tidak amanah. Salah satu ‘tembang’ (syair) dalam kitab tersebut adalah Jaman Edan.
Tembang Jaman Edan menerangkan bahwa suatu saat akan terjadilah apa yang namanya jaman edan. Suatu kondisi kemasyarakatan yang sudah tidak mengindahkan kebenaran dan keadilan. Disebut zaman gila atau edan. Yang diburu hanyalah ‘keduman’ (mendapatkan) uang alias harta. Tak perduli caranya. Namun beliau memberi peringatan bahwa sesukses-suksesnya orang yang edan tentu akan lebih sukses orang yang senantiasa ‘eling lan waspodo’ yaitu senantiasa ingat dan waspada.
Sedangkan kitab Serat Wirid Hidayat Jati berisi ajaran tasawuf yang bercorak falsafi. Menerangkan ‘sangkan paran’ (asal dan arah tijuan ) kehidupan beserta lika-likunya. Juga ditekankan soal tauhid dalam versi Kejawen-Islam atau bisa juga disebut Islam Kejawen. Hanya saja Beliau memberi peringatan keras pada bagian ‘Pembukaan Kitab’ (Bahosi Kawuningan) bahwa barang siapa yang tidak ada guru yang sanggup menjelaskan isi kitab itu maka siapapun dilarang membacanya karena akan ‘kesasar’ alias salah persepsi atau salah paham.
Sayang sekali generasi Islam masa kini sudah tidak mengenal karya-karya ulama Islam di Tanah Jawa ini. Bukan salah mendalami kitab-kitab kuning yang rata-rata kitab Arab sebagai rujukan belajar agama Islam (tentu dengan sumber pokok Alquran dan Kitab Hadis) tetapi akan lebih ‘berwawasan’ andai juga mau menelaah karya dan pemikiran ulama Jawa dahulu. Sehingga kita tidak tercerabut dari akar kesejarahan yang mengantar kita masuk alam moderen ini. Wallahu ‘alam.
Salam, Tiknan Tasmaun
Cari Artikel
RONGGOWARSITO : ULAMA DAN PUJANGGA JAWA
Penulis Tiknan Tasmaun
Diterbitkan 8/24/2011 08:31:00 PM
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments so far
sekedar meuruskan mungkin yang dimaksud dengan susuhunan mangkunegoro adalah susuhunan pakubuwono. makasih
EmoticonEmoticon