-->

IMAN : Analogi Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Penulis tidak hendak membahas 'pengertian iman' dari segi ilmu kalam maupun falsafah. Tetapi yang ingin penulis sampaikan adalah analogi iman dalam kehidupan sehari-hari. Karena pengertian dan praktek 'iman' menurut yang selama ini dipahami penulis adalah rasa percaya, yakin, mempercayai Tuhan dengan segenap 'pengkhabaran' dari Rasul-Nya (Utusan-Nya sebagai penyampai risalah-Nya) baik berupa Firman-Nya (Kitab Suci) maupun contoh-contoh pelaksanaan praktek oleh Nabi Sang Utusan tersebut (al-hadist), serta mempercayakan hidup, penghidupan dan kehidupan kepada-Nya.

Dari analogi contoh kehidupan sehari-hari, maka nantinya bisa diambil pelajaran bahwa sebenarnya untuk menjadi beriman ternyata sama mudahnya dengan menjadi 'tidak beriman' (alias kufur, ingkar). Mari kita memperhatikan analogi kejadian - kejadian berikut :

Bila kita sakit kemudian pergi ke dokter untuk berobat, bukankah kita meyakini bahwa si dokter, sesuai dengan kode etik profesinya, akan berlaku jujur, betul-betul memeriksa jenis penyakit kita dan menentukan solusinya berupa obat-obatan atau tindakan medis lainnya. Mengapa kita begitu percaya saja padahal kita sebelumnyapun belum mengenal si dokter tersebut.

Mengapa kita yakin bahwa si dokter tak akan menjerumuskan kita. Mengapa kita tidak curiga bahwa si dokter justru akan memberikan racun yang mematikan kita. Jawabannya karena kita percaya kepada kode etik profesi kedokteran. Kita percaya kepada dokter tersebut. Bahkan kita juga mempercayakan pemeriksaan dan pengobatan penyakit kita kepada dokter tersebut. Jawabannya hanya karena percaya. Percaya inilah yang dalam bahasa agama dan jika dihubungkan dengan Tuhan dengan segenap Firman dan atributNya disebut 'iman'.

Analogi berikutnya adalah jika kita lapar di tengah perjalanan kemudian kita makan di rumah makan. Mengapa kita juga bisa percaya begitu saja bahwa makanan yang dihidangkan itu makanan yang baik, yang aman dan selamat. Kita tidak ragu sedikitpun bahwa nantinya kita diracun. Tidak. Sama sekali tidak ada keraguan.

Nah kita bisa dengan mudahnya percaya dan mempercayakan diri kita kepada dokter dan juga kepada pemilik warung dalam contoh diatas. Namun mengapa justru kita sulit percaya dan mempercayai kepada Tuhan. Seharusnya kita lebih mudah percaya dan sekaligus mempercayakan nasib kita kepada Tuhan, wong Dia sendiri sudah mendeklarasikan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Welas Asih, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Ar-Rohaan dan Ar-Rohiim.

Mengapa kita sulit percaya akan ada-Nya, kebaikan-Nya, Welas-Nya, Pemeliharaan-Nya, anugerah rejeki dan kekayaan-Nya. Mengapa ? Juga kita sulit percaya pada janji dan ancaman-Nya. Apa mungkin jawabannya karena kita tidak mengetahui sendiri tentang Dia. Tidak mengenal-Nya. Ya, boleh jadi karena masalah ini. Manusia berdalih, 'itu kan hanya pekhabaran dari para nabi dan rasul' , sedang manusia sendiri tidak mengetahui kebenarannya.

Coba kita perhatikan lagi analogi berikut. Siapa diantara kita yang 'mengetahui persis' saat kita dilahirkan ? Ada ? Jawabannya pasti tidak ada. Namun semua manusia, kita-kita ini, percaya bahwa Ibu Anu adalah ibu yang melahirkannya dan percaya bahwa Bapak Fulan adalah bapak kandungnya. Bukankah pengetahuan itu juga didapat dari pengkhabaran dari orang-orang yang menjadi saksi waktu kita dilahirkan ? Saksi-saksi kemudian pada jaman sekarang 'dibukukan, ditandakan, dituliskan' menjadi dokumen tertulis yang disebut akta kelahiran. Intinya, kita percaya kepada Bapak dan Ibu kita bahwa merekalah memang orang tua kandung kita walau kita tidak 'melihat dan menyaksikan' sendiri proses kelahiran kita. Disamping karena saksi-saksi tersebut, hal yang tak kalah pentingnya adalah nurani kita. Hati kita berbicara bahwa memang merekalah orang tua kita.

Nah itu dia. Nurani. Akal budi yang halus. Dada. Ya, dada, wilayah pemahaman kita terhadap sesuatu yang bersifat 'rasa'. Kalau melihat analogi tersebut, bukankah seharusnya juga mudah bagi kita untuk mempercayai segala pekhabaran dari seorang Rasul Utusan Tuhan.

Dari semua itu : membuka dada, membuka hati adalah menjadi perkara penting. Bukankah Dia sendiri sudah menyatakan bahwa Dia sendirilah yang menaruh 'jalan' fujur (keingkaran,kekufuran,kemaksiatan,kejahatan) dan juga jalan taqwa (percaya, yakin, rindu, setia, patuh dan mempercayakan diri kepada Tuhan)1*. Karena itu mari kita buka dada kita untuk menerima 'petunjuk-Nya' sehingga kita bisa percaya dan mempercayakan diri kita seutuhnya kepada Tuhan. Dalam bahasa agama, kita bermohon hidayah kiranya kita diberikan rasa iman itu. Amin. Wallahu a'lam.

Salam, Tiknan Tasmaun

Catatan kaki:

1*. QS 91 Asy - Syams : 8
 

Artikel Terkait

Last Updated 2019-01-28T06:59:07Z

KOMEN DENGAN FORMAT BLOGGER :

Postingan Populer