"Walau tempayan banyak, bayangan matahari banyak namun matahari hanya satu. Srengengene sito tok. Tunggal. "Jangan-jangan ini bineka maujud namun tunggal wujud ?", gerutu Mukidi sendirian."
Mukidi clingak-clinguk sendirian di pelataran rumahnya. Rupanya tengah hari, matahari sedang panas-panasnya menyinarkan cahanya. Bahkan arak-arakan megapun tak ada. Langit sedang bersih biru membentang. Agaknya Sang Surya sedang ingin memamerkan wajahnya.
Di depan Mukidi ada sepuluh atau sebelas 'jombangan' - tempayan besar - berisi air semuanya. Dia sedang mengamati bayangan matahari di dalam tempayan. Ada sepuluh atau sebelas bayangan matahari di sana. Dia mendongak, mengintip matahari di langit. Ah, rupanya hanya satu mataharinya.
"Cuk, lapo koen iku Di," tiba-tiba terdengar suara sohibnya. siapa lagi kalau bukan Paijan. "Kayak orang gak waras saja."
Mukidi diam saja, tak menjawab cuitan sahabatnya. Malah sejurus kemudian dia berjingkrakan. "Ketemu...ketemu, ya aku sudah ketemu apa yang dimaksud Mbah Guru", ujar Mukidi sambil terus berjingkrak persis anak kecil nemu mainan.
"Jan, ini lho Jan. Yang aku cari-cari selama ini. Ternyata walau ada banyak bayangan matahari, tapi mataharinya itu satu. Tunggal.", celetuknya.
"Wis weroh, biyen mulo lak ngono. Kamu itu kesambet setan pagar apa ?", balas Paijan.
"Nggak Jan. walau berjuta 'gambar-Nya' di alam ini, Dia yang Maha Ada adalah Maha Tunggal, seperti gambaran matahari dalam tempayan ini. Nggak ada aku, kamu, dia, yang ada adalah Sang Maha Ada. Oh, Paijan sahabatku." cerocos Mukidi.
"Oh wong edan. Kamu itu tambah lama tambah sableng. Cangkemmu njeplak sak karepe udelmu. Embuh cuk, gak mudeng aku", pungkas Paijan sambil ngeloyor pergi.
EmoticonEmoticon