Cerpen seri Mukidi : "WALI EDAN"

Mukidi sedang merenung sendirian. Tepatnya dia sedang bertafakur selepas memuja Tuhannya dalam sembahyang. Tiba-tiba Mukidi mendengar tiang kecil penyanggah kamarnya berbicara.

'Aku ini bisa tegak berdiri bukan karena paku ataupun terbil. Jika DIA tidak berkehendak mengokohkanku berdiri, tentu tak ada artinya paku maupun terbil ini', suara sang tiang.

'Terimakasih, aku kau jadikan alas sembahyang', sajada ikut-ikutan berbicara.

Mukidi kebingungan. Seumur-umur baru kali ini dia mengalami peristiwa yang demikian. Hatinya dapat menerima namun akal pikiran ragawinya memberontak. Mustahil benda-benda mati bisa berbicara sendiri. Tiba-tia dia turun dari amben tempat munajad, berlari ke luar rumah. Tempat yang dituju, kemana lagi kalau bukan ke tempat Paijan, salah satu sohib terdekatnya.

Belum sampai melewati batas pekarangan rumahnya, dia melihat Paijan sedang berdiri di depan pintu pagar jaro. 'Jan. sini, kebetulan. Aku mau ke rumahmu'. Mukidi menceritakan peristiwa yang dialaminya. Dia minta pendapat sahabatnya itu. 'Itu tadi suara siapa ya Jan', keluhnya.

'Memangnya ada suara lain selain suara-Nya ?', jawab Paijan berwibawa.

Makjleb. Mukidi tercekat. Kok tumben Paijan bisa sewaskita ini dalam menjawab. Dipandangnya saja tubuh kawannya itu. 'Jan, kamu kok tiba-tiba jadi bijaksana gini. Ya ya aku baru ngerti sekarang. Ya, wayang-wayang sedang diwayangkan oleh Sang Dalang', ujar Mukidi.

'Namun Di, jika kau bercerita kepada orang di warung tentu kamu akan dianggap sudah gila. Lebih bahaya lagi jika dianggap wali edan atau wali ngedan. Bisa-bisa dimintai nomor togel kamu', lanjut Paijan. Mukidi kembali menatap wajah sahabatnya itu.

Namun alangkah kagetnya Mukidi, di depannya kini bukan Paijan yang ada. Yang ada adalah sosok dengan wajah, perawakan dan pakaian persis dirinya sendiri. Paijan tidak ada, yang ada dirinya sendiri. Mukidi sedang berhadapan dengan 'Mukidi'.



EmoticonEmoticon