Cerpen Seri Mukidi : "WALI NGARIT"

Ngarit ternyata punya filosofi penting dalam kehidupan. Setidak-tidaknya itu menurut Mukidi dan Paijan. Bahkan menurut Mukidi, Kanjeng Sunan Kalijaga juga pernah ngarit.

Hari itu Mukidi dan Paijan sedang bercengkarama sambil ngopi di warung pinggir sawah. Kayaknya mereka sedang istirahat dari pekerjaan masing-masing. Melihat Wak Min ngarit di pematang sawah, mereka mendapat bahan obrolan yang lumayan seru.


Ilustrasi Google

"Di, lihat Wak Min, walau kerjanya cuma ngarit saja kok yan gak pernah kelihatan susah to ya", kata Paijan.

"Jan Jan, lha wong aku ini lho, walau dibilang orang gak kaya, tapi juga gak merasa susah kok", timpa Mukidi. "Susah senang itu letaknya di hati. Kamu jangan lihat Wak Min-nya yang ngarit, lihat di belakang wak Min, gitu lho ", lanjut Mukidi.

"Maksudnya ?" penasaran Paijan bertanya.

"Jan, maksudku, dibelakang wak Min, itu siapa yang menggerakkan Wak min ngarit itu. Ya sama dengan yang mengerakkan aku dan kamu ini. Kan soal ngarit, ngantor, nandur, atau ndagang, kan hanya pekerjaan yang jadi wajib manusia to ? Lha soal hidup, cukup apa nggak, kan soal Yang Sono," cerocos Mukidi lagi.

"Yo yo aku paham. Maksudmu Sing Ngecat lombok gitu kan ?!", sambung Paijan.

Mukidi meneruskan, layaknya kiyai ndongeng. Dulu pun ada wali yang kerjanya ngarit. walau hanya beberapa hari saja. Beliau adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Buruh ngarit di kediaman Adipati Pandanarang. Wali lho beliau itu. Mau-maunya ngarit. Demi suatu tujuan mulia yaitu mengembalikan fitrah kemanusiaan Sang Adipati.

"Lha kita itu ya ayo ngarit. Ngarit di kehidupan ini. Karena ngarit itu sinonimnya bocah angon. Angon sopo ? Ya angon diri sendiri dan keluarga. Angon nafsu kita. Sukur-sukur lulus. Kalau jatuh, ya bangun lagi. Itu lho, ada dawuh, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".

"Di, Mukidi, cangkemmu koyok pinter-pintero wae.", sambung Pijan sambil nyengir.


EmoticonEmoticon