-->

Perjalanan Ruhani Mencari Hakekat Bagaikan Perjalanan Menuju Tidur

Perjalanan kerohanian untuk mencapai kakekat bagi saya pribadi tak ubahnya perjalanan diri kita untuk menuju tidur. Segampang itu ? Justru karena perbandingannya dengan tidur menjadi gampang namun sekaligus teramat  susah. Karena tidur itu alami. Siapapun dia pasti bisa tidur. Yang bodoh yang alim yang kaya yang miskin yang bayi yang tua....semua pasti bisa tidur dengan mudahnya. Lho kok tidur diperbandingkan dengan perjalanan spiritualitas ?

Coba perhatikan ini. Kalau orang mau tidur membawa ilmu teori tentang tidurnya, maka ia tidak bisa tidur, bahkan mengalami sakit insomnia. Kalau tidur dipikirkan maka tidak juga berhasil tidur, hanya menjadi pemikir soal tidur namun bukan pelaku tidur. Kalau tidur dengan serius membaca buku tentang ilmu tidur maka dia akan terjebak dalam persepsinya sendiri, bukan meng-'alami' hakekat tidur itu sendiri. Kalau tidurnya dengan masih menghafal ilmu perjalanan tidur, maka tidurnya menjadi khayalan semata, seakan-akan tidur padahal bukan, menyangka sudah tidur namun sebenarnya belum tidur. Kalau tidurnya masih bertanya bagaimana cara untuk tidur, maka ia tidak akan menemukan tidur itu sendiri. Kalau tidur dibahas dan didiskusikan maka ia akan menjadi sekedar  tukang debat.

Perjalanan rohani adalah keinginan kita namun untuk selanjutnya biarkan Allah sendiri yang menuntun. Ya, bagaikan tidur. Kita 'loss' saja.... biarkan Dia yang membimbing kita. Kita penuhi saja panggilan-Nya : "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela dan diridloiNya." Itu saja !. Ketika kita bertekad akan meng-'alami' sendiri perjalanan rohani kita untuk menemui-Nya, yang adalah tan kinoyo ngopo, laista kamislihi, kita tinggal rela saja, ikhlas saja terhadap-Nya. Itu saja upaya kita, titik. Kita tidak disuruh membawa ilmu kita pun juga tidak amal kita. Bersandar saja pada welas asih-Nya.

Kita perhatikan tokoh-tokoh yang sudah menjadi legenda. Jalaludin Rumi yang berusaha agar menemukan Sang Maha Ada, Al-Ahad. Kemudian Al Junaid yang mencari kesejatian dirinya hingga beliau menemukan-Nya dalam dirinya sendiri. Mohammad Iqbal yang terkenal dengan penyatuannya dengan butir-butir atom materi sehingga dia mengatakan 'akulah alam semesta' (makrokosmos dalam mikrokosmos). Syeh Siti Jenar yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak jauh, terkenal dengan ungkapan manunggaling kawulo lan Gusti. Ibdu Arabi yang merasa kedekatannya dengan sang Kebenaran, dengan ungkapannya yang terkenal, ana alhaq. Atau dengan Syeh Abdul Qodir Jaelani, sang wali besar yang terkenal dengan karyanya yang berjudul Sirul Asror. Dan..... sang iblis, mantan penghulu sorga. Sampai sekarang dia tetap tunduk takzim dihadapan Allah dengan tetap mengakui dan menyatakan bahwa Allah Tuhannya yang Ahad, Sang Esa, Sang Maha Perkasa dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Iblis berdoa "fi bi 'izzatika......"Dengan keagunganMu aku memohon, kata iblis, untuk menyesatkan manusia (Shaad 82-83).

Lalu apa perbedaan antar si iblis dengan para ahli kerohanian itu ? Tentu perbedaan yang mendasar adalah ketika iblis merasa dirinya "ana khoiru mihu", aku lebih baik darinya. Kesombongan. Ya, itulah kesombongan, Kem-'aku', mengaku-akui. Kesombonganlah itu yang menjadi penyebab iblis dilaknat oleh Allah. Sedangkan para pencari kerohanian, alam kesejatian,ngelmu sejati, al-haqiqoh,....mereka justru merasa fana, bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Bagi mereka semua merupakan anugerah Ilahi. Semua kebaikan merupakan karya Tuhan. Mereka tinggal menjadi 'penyaksi' yang sejati.


Artikel Terkait

Last Updated 2018-04-14T07:26:53Z

KOMEN DENGAN FORMAT BLOGGER :

Ada : 3comments

avatar

mantap mas, suatu pencerahan dalam suatu perjalanan batin dalam ikhlas dan pasrah total karo sing ngawe urip

avatar

Makasih atas tanggapannya, semoga sharing ini bisa bermanfaat buat sesama. Salam

avatar

mas tiknan, memang beanr kayaknya begitu. Saya saat2 ini masa-masa sulit untuk tetap teguh ternyata mencapai keinginan untuk menjadi orang mukhlish dan mukhsinin gampang2 susah. Secara batin saya rasakan bisikan syetan lebih terasa pergulatannya dibanding sebelumnya, namun mulai ada kesadaran dalam jiwa kita tidak bisa berbuatt apa2 kecuali memasrahkannya kepada pemilik jiwa. Karena kalau mengandalkan pikiran/hati terkadang kita terjebak sangka-sangka yg belum jelas kebenarannya. Kecuali yg benar2 berpegang dengan alquran dan sunnah saja

Postingan Populer