Antara Zulkarnain, Nilai Tauhid dan Dakwah Wali Songo

Kali ini penulis ingin membicarakan tentang nilai-nilai tauhid serta metode dakwah dengan melihat contoh praktek antara Zulkarnain dengan para Wali Songo di Tanah Jawa ini. Seperti diketahui bahwa nilai tauhid adalah nilai dasar segala ajaran agama tauhid. Dalam hal ini juga termasuk agama-agama budaya maupun filsafat-filsafat yang berisi ketauhidan. Karena dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia ini, seperti yang ditegaskan dalam salah satu ayat Quran sendiri, ternyata tiap bangsa oleh Allah swt dikaruniai ‘pembawa petunjuk atau pembawa kebenaran’ masing-masing. “Petunjuk” yang dimaksud adalah ajaran yang berisi nilai-nilai tauhid atau sekurang-kurangnya ajaran yang ‘mengarah’ kepada tauhid. Yang tentu saja kemudian kita yakini sebagai muslim bahwa muara kebenaran dari ajaran-ajaran agama terdahulu maupun ajaran-ajaran filsafat tersebut kemudian ‘diverivikasi’ oleh risalah yang dibawa Baginda Nabi besar Muhammad saw. sebagai khotimul ambiya’, Sang Penutup Segala Nabi atau Nabi Terakhir.

Petunjuk – petunjuk atau nilai – nilai murni yang berisi ketauhidan atau yang mengarah kepada ketauhidan atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai ketauhidan yang ada dalam bangsa-bangsa itulah yang kita namai zaman sekarang dengan sebutan ‘kearifan lokal’. Dari sejarah Zulkarnaen dan para Wali Songo kita bisa belajar bagaimana berdakwa dengan cara menghargai kearifan lokal tersebut sehingga dakwa bisa berhasil ‘membumikan’ tauhid – ‘membumikan’ Islam. Mengapa demikian ? Karena justru dari sejarahnya Zulkarnain sendiri bukanlah orang dari jazirah Arab, Syam, Persia, Palestina ataupun Tanah para Nabi. Dia dari Yunani. Tentu saja jauh dari ‘syari’at’ Nabi Musa maupun para Nabi lainnya. Namun nama beliau justru diabadikan dalam Quran. Beliau diilhami 'petunjuk' kebenaran oleh Allah. Itulah ‘petunjuk, pituduh, ngelmu sejati, shirath al mustaqiim, agama taudhid’ anugerah Allah kepada beliau yang kemudian beliau dakwahkan kepada sesama. Itulah nilai murni yang disusupkan Allah sebagai ilham kepada beliau melalui hati nurani beliau dengan cara Allah sendiri. Dan nanti kita lihat bagaimana cara beliau menyebarkan dakwah kebenaran yang telah beliau terima dengan tetap menghormati nilai-nilai kebenaran kearifan lokal pada bangsa-bangsa lain yang beliau dakwahi.

Di bawah ini saya turunkan tulisan yang sangat bagus dari Abdul Wahid Asa di halaman Refleksi dalam majalah AULA No. 04 Tahun XXXII April 2010 ( Majalah yang diterbitkan oleh PWNU Jawa Timur), demikian selengkapnya……

…..”Zulqarnain, atau ditulis Zulkarnain, dalam Bahasa Arab yang Indonesianya “bertanduk dua”, atau mempunyai dua tanduk. Sebuah gelar yang mengacu kepada hewan sapi misalnya, yang mempunyai senjata alat bela diri berupa dua tanduk di kepalanya. Tokoh yang nama aslinya Iskandar, atau dalam ungkapan barat bernama Alexander, kisah keberhasilannya menyatukan dua benua Barat dan Timur dimuat dalam Al-Quran surat Al-Kahfi, atau surat ke-18.

Zulkarnain, Alexander The Great, Alexander Agung ( Orang Jawa menyebut Sekender Agung : pen.) yang hidup 356 – 326 sebelum kelahiran Nabi Isa, salah seorang Maharaja Macedonia, Yunani Kuno. Ayahandanya Raja Philip putra Amytas II. Pada usia 13, selama dua tahun berguru kepada Aristoteles (384 – 322 SM), seorang filosof kenamaan dan dikenal hingga kini. Setelah itu diangkat sebagai Putra Mahkota. Hanya empat tahun magang, pada usia 19 tahun sudah dilantik sebagai Raja (336 SM).

Kisa Zulkarnain melegenda di dunia dan selalu dikaitkan dengan kebesaran, kekuasaan dan kebijaksanaan. Allah menurunkan firman tentang Zulkarnain, antara lain menjawab pertanyaan Kafir Kuraisy yang ingin menguji kebenaran kerasulan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Orang Makkah pra-Islam sesungguhnya tidak tertarik dengan kisah ini karena mereka adalah masyarakat ‘picik’ yang kurang dikenal dalam pergaulan dunia. Pertanyaan tentang Alexander dan pemuda pengelana ‘Ashabul Kahfi’ merupakan titipan orang Yahudi di Medinah. Merekalah yang tertarik dengan kisah ini. Ternyata jawaban Al-Quran jauh lebih dari yang mereka butuhkan.

Iskandar Zulkarnain memang pribadi yang bisa dijadikan uswah bagi umat manusia. Usianya yang muda dengan kekuasaan yang besar dan bekal ilmu yang cukup, mendukung ambisinya yang kuat untuk mengembangkan keluhuran nilai kemanusiaan. Dalam masa pemerintahannya yang hanya sepuluh tahun, Iskandar mampu mengembangkan daerah kekuasaan dari Barat (pantai Samudera Atlantik) sampai ke Timur (tepi Samudera Pasifik). Dalam Al-Quran diungkap sebagai maghribassyamsi, tempat terbenam matahari dan mathli’assyamsi, tempat terbit matahari. Atau Maroko dan Spanyol di ujung barat, dan India serta Cina di ujung timur.

Sukses Aleksander dalam masa kerja sepuluh tahun ini, terbukti periode ideal setiap pemimpin menduduki kursi yang sama. Rasulullah saw sendiri masa efektif kerasuklannya di Madinah ternyata juga hanya sepuluh tahun. Tiga belas tahun waktu di Makkah merupakan tenggang apersepsi yang melandasi satu dasawarsa berikutnya. Kursi Presiden AS juga hanya diberi hak diduduki orang yang sama dalam dua masa jabatan. Menjadi Presiden seumur hidup atau berkuasa sampai tigapuluh tahun di Indonesia juga terbukti malah menimbulkan ketidakbaikan (mafsadah).

Kendati menaklukkan negara lain, Zulkarnain tidak serta merta menghancurkannya sebagaimana umumnya bangsa penjajah. Tapi dia malah menjalin kerja sama memperbaikinya. Alkisah, waktu berhasil mengalahkan Raja Persia Darius III (331 SM), Iskandar tidak menghancurkan peradaban Persia. Ia menggunakan politik akulturasi, yaitu mempertemukan budaya Barat dan Timur. Bersama itu menyampaikan pesan agar masyarakat hanya menyembah Tuhan Yang Esa. Di Persia dia mengawini putri Raja Darius, dan mengambil banyak pengawal dari tentara asli Persia (Iran sekarang).

Dari sini juga membuktikan bahwa budaya luhur tiap bangsa bersifat universal, tidak mengenal batas wilayah dan tenggang waktu. Begitu juga pesan ke-esa-an Tuhan atau tauhid yang menjadi inti ajaran Islam. Cara pandang semacam ini dianut oleh Walosongo – diteruskan oleh Nahdlatul Ulama – yang menghargai kultur setempat sebagai bagian dari agama. Para penyebar Islam di Indonesia (khususnya di Jawa), menggunakan budaya lokal sebagai media dakwah. Yaitu dengan menghilangkan unsur-unsur yang mengarah ke syirik dan menggantinya dengan nilai Islami. Dengan begitu, masyarakat sasaran dakwah tidak merasa tercerabut dari akarnya, serta tidak menimbulkan perbenturan nilai.

Tidak seperti kelompok garis keras yang datang dengan memonopoli kebenaran. Dirinya yang paling benar dan orang lain salah belaka. Penjajah Barat pada umumnya masuk ke Timur dengan anggapan bahwa kulit putih adalah ras paling unggul, agama yang dibawanya juga ditempatkan sebagai ‘juru selamat’. Seolah-olah orang kulit berwarna ‘kurang manusia’ dan agama yang dianutnya sebagai ‘gugon-tuhon’. Ini berakibat pemerintah penjajah dibenci dan agamanya dicibir sebagai alat bantu penindasan.

Cara yang ditempuh Zulkarnain ini menyebabkan kedatangannya disambut baik oleh masyarakat setempat dan tidak dianggap sebagai penjajah. Bahkan sering ia menjadi tempat mengadu dari kelaliman yang sudah berlangsung lama di daerah itu. Satu kisa terkait ini ada dalam Quran. Ketika Zulkarnain sampai di tempat daerah timur (mungkin wilayah Cina), dilapori bahwa Ya’juj dan Ma’juj ( orang Jawa menyebut Jumakjujo,pen) menjadi perusak wilayah mereka. Penduduk setempat mengusulkan agar Zulkarnain berkenan membuat tembok pembatas untuk mengisolasi musuh ini. Dan ini betul-betul diperthatikan dengan membangun dinding bercor baja.

Cara pendekatan Zulkarnain adalah karunia Ilahi yang dipaparkan kepada kita sebagai pelajaran. Kendati dia bukan Rasul, (bahkan bukan murid dari salah satu Rasul atau Nabi tetapi murid ahli filsafat Aristoteles,pen) tapi yang dilakukannya merupakan ilham dan petunjuk langsung dari Allah Yang Maha Bijak. Itu pula yang dilakukan oleh Nabi junjungan dan anutan umat Islam, Muhammad saw waktu di Makkah, beliau tidak mengkafir-kafirkan masyarakat, tapi menunjuki jalan. Saat di Madinah –kendati dengan dukungan suku terbesar Khazraj dan Aus- beliau tidak langsung memukul habis pengikut Nasrani dan Yahudi. Tapi dipersaudarakan dulu kaum Muhajirin (imigran) dan Ansor (penduduk penyambut setempat). Sesudah itu diundang para pemimpin agama lain untuk diajak menandatangani pakta perdamaian.

Ini sungguh beda dengan pemandangan umat Islam saat ini : Berdamai dengan sesamanya saja sepertinya tidak bisa, jangankan dengan penganut agama lain. Masing-masing kelompok (hizb) merasa paling benar, sedang lainnya salah belaka, dan karena itu hak keberadaannya ditiadakan. Kadang ada upaya pendekatan (attaqrib), tapi tidak ditunjang, malah menjadi bahan tertawaan. Atau dijadikan alat pemukul waktu berlangsung persaingan, bahwa pendekatan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan. Apakah kita terus begini, atau bahkan makin parah ?”( Abdul Wahid Asa, halaman Refleksi, AULA No. 04 Tahun XXXII April 2010 )……..

Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dari tulisan tersebut diatas, yaitu : NILAI MURNI

Tiap bangsa, bahkan tiap suku bangsa atau tiap kaum mempunyai kearifan lokal tersendiri. Kearifan lokal ini ada yang universal sifatnya dan ada yang memang hanya bersifat relatif sesuai dengan waktu dan kondisi masyarakat setempat.

Sebagian (kalaupun tidak seluruhnya) dari nilai-nilai kearifan lokal adalah merupakan nilai kebenaran yang universal, berlaku dimanapun dan kapanpun. Tentu nilai kearifan lokal yang demikian merupakan nilai murni, nilai kebenaran. Tentu juga merupakan nilai yang diperoleh dari ‘petunjuk Tuhan’ dengan cara-Nya yang tersendiri. Nilai murni yang universal ini, walaupun tumbuh dan berkembang sebagai nilai kearifan lokal, tentu tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai Quran maupun Sunah Nabi.

Contoh nilai kearifan lokal di masyarakat Jawa misalnya nilai-nilai dari berbagai ungkapan pitutur yang antara lain berisi tentang ketauhidan ( Gusti Kang Akaryo jagad = Tuhan Pencipta Alam, Gusti Pengeran Kang Tan Kinoyo Ngopo = Tuhan yang tak bisa bisa digambarkan, tak serupa dengan apapun), nilai tentang kemanusiaan ( gotong royong), nilai kebenaran ( dengan ungkapan ‘becik ketitik olo ketoro’ = hal yang benar pasti nampak terbukti begitu juga sebaliknya ). Contoh nilai kearifan lokal lainnya adalah tradisi bersedekah sekaligus syukuran dan silaturahim dengan cara selametan tumpengan, nyadran ataupun sedekah bumi ( tentu acara sedekah, selamatan dan tahlilnya yang bagus, kalau pesta dan hura-huranya lain lagi). Berikutnya nilai lokal Nusantara yang tak susut nilai kebenarannya adalah ‘bineka tunggal eka’ berbeda dalam cara tetapi tetap saling menghargai karena meyakini nilai dan tujuannya tetap sama, satu , eka.

Nah bagaimana dengan pendapat Anda ???


EmoticonEmoticon