Sebagai muslim maka ibadah sholat merupakan ibadah pokok. Sebab dengan sholat kita menyembah Allah, mengagungkanNya, sekaligus munajad memohon kepadanya. Namun kita rasakan betapa susahnya untuk mencapai rasa khusuk dalam sholat kita sehari-hari. Sampai-sampai timbul satu pertanyaan, mungkinkah manusia awam seperti kita ini bisa khusuk ? Bahkan ada kawan yang mengatakan mustahil. Dibawah ini saya turunkan kembali tulisan saya yang saya muat di rumah sehat bersama, kompasiana.
Jauh dari maksud saya untuk mengatakan bahwa saya telah mampu melakukan sholat secara khusuk, bukan, bukan itu maksud saya. Jauh pula dari maksud menggurui. Saya hanya ingin sharing apa yang ‘kadang-kadang’ saya rasakan ketika saya merasa ‘trenyuh’ ketika sholat, dan mungkin itu yang disebut khusuk.
Telah banyak usaha dan cara yang saya lakukan untuk mendapat khusyu’, tetapi tetap saja tidak berhasil. Anehnya, ketika saya tertimpa musibah yang hebat, tiba-tiba saja saya merasa ‘bisa’ shalat dengan khusyu’ dan berdoa sambil mengucurkan air mata. Padahal ketika itu, aya justru lupa dengan segala macam teori mengenai shalat khusyu’. Saya lupa soal bagaimana harus berkonsentrasi, lupa memperhatikan titik ditempat sujud, lupa bagaimana cara menghadirkan Allah, tapi justru saat itu hati dan pikiran saya mampu mengarah ke Allah. Saya pun tetap belum mampu sepenuhnya memahami arti bacaan dalam bahasa Arab, tapi saya merasa bisa ‘berbicara’ dengan Allah. Saya lupa bagaimana “menghadirkan” Allah, tapi malah terasa Allah begitu dekat. Ketika itu, saya merasa dosa-dosa aya banyak juga, tapi terasa Allah menyambut shalat dan doa saya. Barangkali keadaan ini bisa terjadi kepada siapa saja, dari mahzab dan aliran apa saja, kepada ulama, orang awam, cendikiawan, orang yang kurang berpendidikan, orang kaya, orang miskin, bahkan kadang kepada orang yang jarang shalat sekali pun.
Apa gerangan yang membuat itu bisa terjadi?
Salah satunya adalah sikap dalam menghadap kepada Allah. Ketika kita tertimpa musibah, maka kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri, sungguh-sungguh mengharapkan pertolongan Allah. Kita menjadi tersadar, hanya Allah-lah yang dapat mengatasi masalah kita dan mengabulkan doa kita. Sebaliknya ketika kita sedang jaya, tidak kekurangan suatu apapun, sikap itu sudah tidak ada lagi. Biasanya kita shalat dan doa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Seolah-olah Allah-lah yang membutuhkan shalat dan doa kita.
Khusyu’ menurut Al Qur’an
Kita sering mengasosiakan khusyu’ dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur’an menjelaskan mengenai khusyu’ itu.
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka( akan) menemui Tuhannya, dan bahwa mereka( akan) kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah [2] 45-46).
Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu’ bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan SEDANG menghadap Allah.
Keyakinan sangat mempengaruhi sikap seseorang. Orang yang yakin di pohon kenanga ada hantunya, maka dia akan ketakutan jika malam-malam lewat di bawahnya. Sebaliknya, jika orang tersebut berkeyakinan pohon kenanga adalah pohon yang indah, maka orang tersebut justru menemukan kesenangan di bawahnya. Dia akan memungut bunga-bunga yang berguguran untuk diselipkan ditelinga, dibuat rangkaian bunga atau diletakkan mengapung diatas kolam air.
Kanjeng Nabi juga telah mengajarkan caranya agar kita dapat “menemui” dan “kembali” kepada Allah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Baqarah 46. Petunjuknya dikemas ringkas dalam doa iftitah yaitu :
“ Aku hadapkan wajahku kepada wajah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri . Sesungguhnya ibadahku, shalatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam ..
Beliau juga mengajarkan yang artinya demikian :”Jika engkau sholat maka hendaklah engkau merasa seakan-akan engkau melihat Allah di depanmu. Kalau tak mampu seperti itu, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu”.
Kita hanya perlu memiliki sangkaan keyakinan [dzon,arab] bahwa kita sedang menghadap Allah dan dengan sadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah.
Karena itu ada beberapa hal yang patut kita renungkan bersama yaitu,
1.Sebelum memulai sholat maka katakan kepada Allah demikian :” ya Allah, aku ini orang bodoh,tak mampu khusu’ dan tak mampu berma’rifat kepadaMu. Maka ajarilah aku,tuntunlah aku untuk sholat kepadaMu sebagaimana Engkau menuntun Rasulullah untuk sholat.
2.Ikhlaslah dan ridlolah kepada Allah, ridlo atas segala syari’atnya termasuk sholat yang akan anda dirikan.
3.Bersholatlah dengan RASA (sirr) (dg segenap perasaan),bukan hanya dengan ingatan fikiran apalagi sekedar hafalan.
4.Merasa berhadapan dengan Allah Bersikaplah seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan menyerahkan diri yaitu ruh,rasa,jiwa/hati,pikiran dan gerak kita mutlak kepadaNya. Biarkan Dia yang membimbing sholat kita.
Sambutlah panggilan Allah,seperti yang difirmankan dalam Al Quran QS:89 Al Fajr ayat 27-28 yang maknanya :”Hai jiwa yang tenang,kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridlo (ikhlas) dan diridloiNya”.
Keluarkan sholat dari rasa hati yang paling dalam ( sirr),seperti sholatnya Rasulullah. Beliau tidak sholat dengan hafalan fikirannya,tetapi sholatnya itu keluar dari hati yang dalam tanpa kepalsuan,tanpa beban. Sholat Beliau adalah totalitas. Jika badannya rukuk maka ruhani beliau yang terlebih dulu mengajaknya untuk tundak kepada Allah. Begitu juga ketika sujud,ruhani beliau memang betul-betul sujud berserah diri dan mengagungkan Allah.
5.Timbulkan rasa rindu untuk berjumpa Allah,karena sabda Kanjeng Nabi bahwa sholat itu adalah mi’rajnya orang mu’min,artinya perjumpaan antar hamba dengan Penciptanya.
6.Niat dan sadar penuh sepanjang sholat.
Rasulullah bersabda:”inna a’malu bin-niyat”,sesungguhnya segala amal/perbuatan itu bergantung pada niatnya. Justru yang saya maksud dengan niat bukan saja ketika memulai sholat tetapi juga sadar penuh sepanjang sholat bahwa kita sedang menghadap Allah untuk menyembahNya dan munajat memohon kepadaNya.
Niat yang berupa kesadaran dan kesengajaan harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat,sengaja dan sadar, bacalah Al Fatihah dengan niat,sengaja dan sadar, rukuk-lah dengan niat,sengaja dan sadar, dan seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah. Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi (berbicara) dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita..
7.Ketika rukuk dan sujud betul-betul tunduklah kepada Allah. Rukuk dan sujud sangat penting untuk membantu kita meraih kekhusyu’an. Sikap tubuh yang membungkuk pada rukuk akan membantu jiwa kita untuk tunduk dan hormat kepada Allah.
Demikian pula meletakkan kepala pada posisi yang paling rendah waktu sujud, akan membantu kita untuk merendahkan diri dihadapan Allah. Berlakulah tuma’nina ketika rukuk dan sujud. Jangan jadikan bacaan sebagai komando gerakan sholat. Rukuklah sampai kita merasa betul-betul tunduk kepada Allah,baru pujilah Dia,agungkan Dia dengan membaca bacaannya. Ketika sujud rasakan bahwa kita betul-betul sujud bersimpuh dihadapanNya,Tuhan yang Maha-Maha segala-galanya,dia adalah Raja Sesembahan kita,Dia adalah Penguasa kita,Dialah pemegang hidup kita,dialah pemegang nyawa kita,dan sadarilah bahwa Dialah Sang pemberi rizqi yang kita nikmati setiap hari. Kita sujud pasrah. Kemudian baru memuliakanNya dengan bacaan disertai kesadaran dan keikhlasan.
8.Berdialog dengan Allah.
Rasulullah bersabda bahwa sholat adalah mi’roj-nya orang mu’min. Artinya dalam sholat kita betul – betul berhadapan dengan Allah. Berjumpa untuk apa ? Disamping untuk menyembahNya,kita juga sedang munajat yaitu berdialog denganNya. Yang namanya berdialog tentu bukan kita saja yang berbicara,tetapi biarkan Allah juga”berbicara”dengan kita baik melalui penghayatan firmanNya yang kita baca dalam sholat maupun melalui bahasa ilham yang disusupkan dalam hati,suatu bahasa yang ” laa shouti walaa harfin”tanpa suara dan tanpa huruf,yaitu berupa pengertian-pengertian,pemahaman-pemahaman,kesadaran atau bahasa rasa (sirr).
Demikian sekedar sharing dari saya, jika ada benarnya maka semata-mata dari Allah dan jika salah maka itu semata-mata karena kebodohan saya sendiri.
Wassalam,
Tiknan Tasmaun
EmoticonEmoticon