-->

Cerpen : PAK TUA YANG ANEH

Matahari menyengat dengan garangnya seakan hendak membakar apa saja di bumi. Tanah pecah - pecah. Menderita. Semenderita Pak Tua yang sedang berjalan gontai sambil disoraki anak-anak kampung : “Orang gila…orang gila…” . Oh bukan, bukan menderita. Dia orang yang sangat bahagia malah.

Satu kampung orang tak tahu namanya. Juga tak tahu asal - usulnya. Hanya tiap ada kematian warga, selalu dia hadir. Bahkan sebelum diumumkan di pengeras masjidpun dia sudah hadir lebih dulu di ‘calon’ rumah duka atau di kuburan. Mengapa disebut ‘calon rumah duka’ ? Karena kadang dia hadir di rumah seseorang yang seisi rumah itu sehat wal afiat. Namun tak lama baru tersiar kabar kematian dari rumah tersebut secara mendadak. Seakan dia tahu bahwa akan ada warga rumah tersebut yabng akan menghadap Ilahi.

Mulutnya senantiasa menyerocos tak karuan. Kadang tertawa sendiri. Kadang menangis. Pakaian yang dipakai sudah lusuh namun ada kesan terjaga kebersihannya. Pun orang satu kampung tak ada yang tahu bagaimana cara Pak Tua ini mendapatkan makanan untuk bertahan hidup.

“Orang kok ya gak pernah kapok pada korupsi lho, kalau sudah terbujur kaku begini bagaimana, buat apa harta banyak ” gerutunya ketika melayat salah satu warga desa yang meninggal. “Sampeyan omong opo to Mbah ? Kok Nggremeng sendiri”, ujarku disampingnya.

“Walah le, lha wong jaman sudah kewalik. Yang waras dipoyoki edan. Yang edan ngakunya waras. Sekarang ini tontonan berusaha jadi tuntunan, lha yang seharusnya tuntunan malah jadi banyolan, tontonan. Lihat di tipi itu, Oh Jama’aaah ooo jama’aaaaa… orang pada ketawa”. Kok tahu tv orang ini pikirku.

“Lha Sampeyan kok tahu kalau ada orang mau meninggal, wong belum diumumkan di spiker masjid malah Sampeyan sudah niliki kuburan tadi gimana ceritanya ?” tanyaku kepada Pak tua Aneh ini. “Oh, itu toh, lha wong aku mencium baunya kok”, jawabnya. Entah benar entah tidak.

“Le, sesuatu jika akan terjadi, Gusti Allah paring tanda-tanda. Misal, mau hujan dikasih tanda mendung dulu. Kalau kemarau terik begini ya gak ada hujan wong langitnya bersih. Lha sama juga dengan kematian. Lihat daun yang mau gugur, jarak beberapa hari pasti dia sudah nampak layu. Kemudian semakin layu baru jatuh. Layu itu tanda bahwa daun akan gugur atau mati. Kamu paham ?” tanyanya padaku.

“Kalau orang mau ketemu ajal juga ada tanda Mbah ?” tanyaku. “Yo ada tho le. Wong Gusti Allah mau mengkiyamatkan dunia saja dikasi pertanda dulu kok Le. Sama saja ketika LHI mau ketangkep KPK. Lha itu sebenarnya kan ada tanda-tandanya kalau diperhatikan. Jauh hari kan sudah ada rasan-rasan di media soal impor daing sapi itu. Juga Supendi, pensiunan petinggi partainya, juga sudah rasan -rasan ke benyak pihak. Cuma LHI gak sadar bahwa bahaya mengintip, ya akhirnya kecaplok juga.”

“Wah si Mbah kok ngomongnya politik sih. Omong lain saja lha Mbah” timpalku. “Lho kan kamu tadi tanya masalah tanda. Ada itu. Setiap kejadian Allah ngasih petanda. Ada asap itu tandanya ada api, kan gitu.”

“Lha Mbah ini asal dari kampung mana sih ?”, tanyaku. “Mbah ini sebenarnya berasal dari kampung ’sono‘, kemudian sementara menginap di kampung dunia ini, sebentar lagi juga akan pulang.” Wah, jawabannya mulai ngelantur deh.

Matahari semakin meninggi dan udara semakin panas. “Kau rasakan panas ini nggak Le ?” tanyanya padaku. “Yo’i la Mbah, panas banter tenan ini”, balasku. “Le, orang bilang kalau puanaas buanget gini seperti sebagian panasnya neraka ya. Makanya neraka , nar, itu digambarkan dengan api panas yang tiada tara. Kalau tinggal di jazirah Arab sana lebih paham arti panas matahari. Maka siksa digambarkan matahari hanya sejengkal dari ubun - ubun. Coba kamu pikir kalu orang kutub yang mendengar gambaran ini, kan malah ingin lihat betapa dapat matahari sepanjang tahun toh ?” ocehnya. Wah tambah ngaco omongan orang ini, pikirku. Cuma aku diam saja sambil bengong mendengarnya. Menarik juga sih.

“Sebaliknya surga digambarkan sebagai taman yang mengalir sungai air jernih, madu dan susu di bawahnya dengan beberapa bidadari cantik di istana. Lha kalau kamu tinggal di daerah padang pasir ya ngiler mendengar gambaran tersebut. Tapi bagaimana dengan orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan yang hidupnya tiap hari di rawa-rawa mendengar gambaran itu ? Kok ya kurang menarik gitu lho.”

“Lha kalau gitu, menurut Mbah surga dan neraka tidak ada gitu ?”

“Wah Le Le, kok goblok gitu to kamu ini. Ya pasti ada. Lha wong yang dawuh itu Gusti Yang Buat Jagad ini kok, ya pasti benar adanya. Cuma bagaimana hakikinya itu yang kita gak tahu. Bagi Si Mbah ini surga dan neraka itu tentu membawa rasa masing-masing. Surga itu membawa rasa nikmat dan neraka sebaliknya, membawa rasa sengsara. Masalah bentuknya, ya terserah Sing Ngecet Lombok (Yang Mengecat lombok = Yang Memberi Warna LOmbok, maksudnya Tuhan ) toh Le. Bagi Mbah ini surga dan neraka sudah Mbah alami ketika hidup sekarang, kelak tinggal melanjutkan. Perkara kita tinggal di planet mana, alam mana, gak masalah asal kita diwelasi Gusti, ya berarti surga.”

Aduh, semakin aku gak paham omongannya. Matahari makin tinngi terik di ubun-ubun. Pak Modin memberi isyarat bahwa layon segera diberangkatkan. “Le, ayo ikut ngantar kemanten ke tempatnya” , ajak Pak Tua ini.

Karya Tiknan Tasmaun

Artikel Terkait

Last Updated 2018-04-14T01:41:51Z

KOMEN DENGAN FORMAT BLOGGER :

Postingan Populer