Ada ungkapan mengatakan, siapa menabur angin akan menui badai. Itu adalah hukum alam. Hukum alam sinonim dengan hukum Tuhan. Dalam bahasa lain disebut hukum karma. Bagi yang tak setuju disebut hukum karma maka bisa diterima sebagai hukum 'ganjaran' yaitu 'becik ketitik, olo ketoro' yang artinya yang baik akan nampak demikian yang tak baikpun akan nampak. Siapa Menabur, Dia Menuai.
Tuhan tidak akan menzalimi manusia sedikitpun. Perbuatan baik walau sekecil zarro (noktah, titik, semut pudak) maka akan dibalas demikian pula perbuatan jahat setitikpun akan dibalas. Itu mekanisme alamiah hukum Tuhan baik di dunia ini apa lagi di hari perhiutungan kelak. Untungnya, Allah lebih mendahulukan kasih sayang-Nya (Rahmat-Nya) sehingga bagi pendosa dan pelaku perbuatan jahat jika mau minta ampun dengan tulus maka akan diampuni dan terbebas dari 'karma' hukuman perbuatan tersebut.
Siapa Menabur, Dia Menuai
Menjadi masalah adalah bagi kita para pelaku perbuatan jahat yang tak nampak jahatnya karena dianggap lumrah dan sepele. Mempergunjing orang misalnya. Fitnah. Menyakiti hati sesama entah disengaja atau tak sengaja. Biasanya hal-hal demikian karena tak merasa bersalah maka tak minta ampun baik kepada Tuhan maupun sesama makhluk. Bahkan jika diingatkan malah justru naik darah, berdebat dan ujung-ujungnya marah.Lihatlah pada sekala nasional, sudah banyak contoh yang terjadi di depan mata. Ada tokoh yang memperolok usulan hari santri, tanpa merasa bersalah, ngeles terus, nah ujung-ujungnya sekarang dia mendapat 'karma' -nya sendiri. Dicopot dari partainya. Ada tokoh yang gembar-gembor sambil mengumbar sunyum sesumbar bahwa Presiden yang sekarang ini akan jatuh dalam waktu paling lama setahun, eh malah dia yang sekarang terjungkal dari partainya. Dan masih banyak contoh yang mencolok mata.
Baru-baru ini juga penulis menolong tetangga yang terlibat kecelakaan dengan anak remaja dari kampung sebelah. Inisiatif penulis adalah mendamaikan mereka yang terlibat kecelakaan. Kebetulan tetangga penulis tulang kakinya patah akibat kecelakaan tersebut. Akhirnya dua belah pihak sepakat menyelesaikan secara kekeluargaan. Namun sampai kini, tiada sepeser rupiahpun dari orang tua remaja tersebut disumbangkan kepada korban. Padahal dia termasuk orang kaya di kampungnya.
Jadi, ternyata 'kata kekeluargaan' yang disepakati menjadi 'njomplang' alias tidak pas, karena tiada wujud nyata belas kasih dari makna kekeluargaan tersebut. Janji tinggal janji. Lupakah keluarga ini bahwa janji akan ditagih hatta di negeri kekal ? Kecuali janji yang memang tak terdaya dipenuhi karena sebab keterbatasan ibarat pepatah, "maksud hati ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai", itu lain soal, pengampunan Allah luas tak terbatas. Atau janji yang secara syari'at adalah bathil, maka tak wajib memenuhinya, bahkan dilarang memenuhi.
Ini adalah janji kekeluargaan. Dalam kata kekeluargaan ada makna silaturahiim. Silaturahiim itu perintah ilahi dan perintah utusan-Nya yang mulia. Maknanya janji kekeluargaan itu janji yang bukan sepele. Jika janji itu sudah dikhianati, maka ibarat menabur angin, tak lama akan menuai badai.
Itulah salah satu paparan mengenai hukum sebab akibat, hukum 'karma' atau hukum ganjaran. Kiranya menjadi renungan kita bersama.
Salam, Tiknan Tasmaun
EmoticonEmoticon