Hidup Itu Indah

Ada seorang pemuda. Tiap hari pekerjaannya mencari jalan supaya bisa mati. Baginya kehidupan ini begitu gelap. Suram, kelam dan hitam. Pernah dia bunuh diri dengan cara minum racun namun ketahuan keluarganya kemudian dilarikan ke rumah sakit sehingga nyawanya tertolong, tidak jadi mati. Pernah juga dia terjun ke sungai, namun lagi-lagi ada orang yang menolong sehinga tidak jadi mati. Pernah juga dia bunuh diri dengan menggantungkan diri, eh belum-belum sudah ketahuan orang sehingga tidak jadi bunuh diri.
Baginya mencari mati saja begitu sulitnya. Sedangkan untuk terus hidup dia merasa tersiksa. Apapun yang dilihatnya, baginya semua menyesakkan dadanya. Melihat orang tua, katanya orang tua yang kolot. Memandang tetangga, katanya tetangga pada ‘nggak bener’ semua. Kawan ? Ah tidak ada kawan yang sejati. Pacar ? Boro-boro. Yang dulu saja berhianat melulu.
Suatu hari pemuda ini menjumpai kawan lamanya. Dia menceritakan keluh kesahnya. Dia katakan mengapa Tuhan tidak berlaku adil kepadanya. Dia katakan bahwa hidupnya serba tidak ada pengharapan. Sampai mau mati saja susahnya minta ampun. Dimana keadilan dan rahmat Tuhan ? Tanyanya kepada kawan itu.
Si kawan menjawab : “Jika kamu betul-betul mau mati, dua hari lagi saja. Bunuh diri saja di belakang rumahku ini. Dijamin nggak ada yang bakal menggagalkan kamu”, katanya. “Nah sekarang kamu pulang. Mulai sekarang kamu siap-siap saja untuk mati. Bersikap baiklah kepada orang tuamu untuk yang terakhir kalinya, kan kamu mau mati. Semua handai tolan kamu datangi untuk yang terakhir kali,” nasehat kawan itu lagi.
Sepulang dari rumah kawan lamanya itu, si pemuda ini riang gembira sekali. Pikirnya,”Kali ini aku akan kesampaian keinginanku untuk mati.” Malamnya dia tidur tidak seperti hari-hari sebelumnya yang senantiasa gelisah tetapi justru pulas sekali, tidur nyenyak. Bangun pagi-pagi dia merasa segar badannya. Habis mandi dia sarapan dengan lahapnya. Kali ini dia merasakan lezatnya makanan yang dia santap. Katemu ayah ibunya, dengan riang pemuda ini menyapa keduanya. Orang tuanya merasa heran atas perubahan anaknya. Mereka kemudian ngobrol sengan akrab. Bahkan si anak kemudian membantu pekerjaan orang tuanya. Dia membatu membuka toko kelontong orang tuanya.
Siangnya si pemuda ini pergi ‘nyambangi’ kawan-kawan, handai tolan dan kerabatnya. Setiap pertemuan dengan mereka selalu riang gembira dan bercanda ria. Balik dari bepergian sudah sore hari. Kebetulan ketika pulang sepanjang jalan di gang yang mebuju rumahnya dia berjumpa dengan tetangga-tetangganya. Dia menyapa para tetangganya dengan tulus. Terjadi keakraban dengan mereka.
Malam sebelum tidurpun kembali si pemuda ini bercengkerama dengan keluarganya. Dia lakukan semua itu karena merasa bahwa tinggal sehari itulah dia hidup. Dia ingin berbuat baik dengan semua orang. Malam harinya kembali dia tidur dengan pulasnya.
Pagi-pagi dia bangun dengan badan segar kembali. Si pemuda ini teringat akan janjinya untuk bunuh diri di belakang rumah kawan lamanya. Derrrr….baru dia merasa tidak ingin mati lagi. Baginya hidup seharian kemarin begitu indahnya. Dia merasa orang tuanya sangat baik. Juga kawan-kawan, handai tolan dan kerabat yang dia jumpai semua juga amat bersikap baik semua. Juga para tetangga pada bersikap baik. Dia heran sendiri, kok tiba-tiba semua jadi indah…baik-baik semua. Bahkan di ujung kampung kemarin dia jumpa si Siti anak Wak Senen tersenyum kepadanya. Senyum itu manis sekali. Di hari-hari yang lalu kok nggak jumpa yang indah-indah begini ya, pikirnya. Dia menyesal telah berjanji untuk bunuh diri kepada sahabat lamanya.
Dia kemudian mandi, sarapan dan bergegas pergi ke rumah kawan lamanya itu. Kali ini niatnya bukan untuk bunuh diri ataupun mencari kematian namun justru akan mengatakan bahwa dia akan membatalkan niat untuk bunuh diri itu.
“Lho kenapa kok jadi tiba-tiba takut mati, ku jamin deh nggak bakalan ada orang yang mbatalin kamu bunh diri”, kata si kawan. “Ah nggak ah, sejak kemarin aku merasa hidup ini indah. Bener. Aku juga ngak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa bahwa hidup ini indah”, jawab pemuda ini.
“Coba ambil kertas di atas meja itu. Kamu lihat apa warna kertas ini ?” tanya si kawan.
“Putih”, jawabnya.
Kemudian oleh si kawan ini kertas putih tersebut dikasih titik hitam di tengahnya.
Dia tanya lagi, “Apa yang kamu lihat sekarang ?”
“Titik hitam”, jawabnya.
“Nah ini masalah kamu. Kamu justru melihat setitik hitam yang kecil di tengah kertas putih yang lebar ini. Coba kamu pandang kertas ini, tetap putih kan ? Banyak yang putihnya kan dari pada titik hitamnya ?”
“Oh…..aku paham sekarang. Ya, ya, aku tahu selama ini yang salah pada diriku adalah cara pandangku. Ya, cara aku memandang kehidupan ini yang salah. Aku selalu terpaku pada setitik masalah yang kuhadapi. Padahal hidup itu sendiri ternyata indah. Terlalu banyak untuk disebut satu-persatu keindahan hidup yang dianugerahkan olehNya. Ya…ya, aku mengerti kawan. Terima kasih banyak, kau telah menunjukkan jalan ‘hidup’ ku.”
Salam, sekedar ilustrasi cerita untuk renungan.
Tiknan Tasmaun … ....Wahyu Kamulyan...


EmoticonEmoticon